oleh : Dr. Mashuri Toha, M.Pd

Mengurai makna “daya saing” pendidikan di tengah arus global, penuh hiruk-pikuk pengembangan pendidikan. Pendidikan kelas dunia menjadi wacana yang hangat diperbincangkan. Minstream itu menuntut para insan pendidikan untuk tidak menjadi produk masa lalu. Generasi masa kini menghadapi tekanan persaingan yang begitu keras. Dalam berdaya saing telah membuat individu dan tim untuk bergegas menyusun kekuatan dan cepat menutupi kelemahan. Tentunya, hanya pribadi yang terdidik yang mampu survive dengan membuka peluang, mencari jalan dan breakthrough.

Generasi masa lalu, makan tidak makan yang penting kumpul, bisa kolutif mengandalkan orang tua dalam mencari jodoh dan pekerjaan, citra diri di masyarakat lebih kepada kesediaan untuk menjaga moral, kompetensi kurang diperhitungkan. Tetapi tantangan persaingan yang dihadapi genarasi masa kini lebih ketat, yang tidak terampil dimasukkan dalam statistik pengangguran, yang menganggur dikucilkan dalam kehidupan keluarga dan menjadi beban sosial, menghadapi ancaman PHK, citra diri lebih kepada kompetensi yang dimiliki.

Agar berdayasaing, generasi saat ini berlomba untuk memperoleh pendidikan. Mereka berebut perguruan tinggi ternama. Setelah diwisuda, keesokan harinya langsung lapor lurah untuk ganti KTP, si lurah terkejut, karena ganti KTP hanya untuk membubuhkan titel di belakang namanya. Pendidikan menjadi terobosan untuk banyak kepentingan; untuk berdaya saing, status sosial dan prestise atau ‘gengsi’ hingga mencari jodoh.

Menghadapi persaingan global, sistem pendidikan nasional terus dibenahi. Lembaga pendidikan sibuk berbenah untuk menjawab tantangan masa depan. Hingga saat ini, perguruan tinggi masih dipercaya oleh generasi saat ini sebagai sarana untuk menggapai cita-cita masa depan yang gemilang dan pendidikan menjadi instrumen untuk hadirnya perubahan nasib yang lebih baik.

Naifnya. Bagi golongan miskin, pendidikan dijadikan sebagai sarana untuk merubah nasib yang lebih baik, namun juga bagi golongan kaya, pendidikan dijadikan sebagai sarana untuk melipatgandakan kekayaan. Pendidikan dalam perspektif Islam, kita semua setuju untuk menjadikan pendidikan sebagai tempat untuk memuliakan manusia. Memandang manusia sebagai the human being is the learning organizm. Menghukumi belajar sebagai perkara yang wajib dilakukan. Dan menjadikan membaca sebagai perintah agama.

Inti pendidikan adalah belajar. Belajar sebagai proses untuk meningkatkan kualitas diri. Tanpa belajar, kita akan terperangkap hidup pada masa lalu. Bagi mereka yang akan menyongsong masa depan, jangan pernah berhenti belajar dan memperbarui diri. Lembaga pendidikan hadir untuk mengorganisasikan belajar dan belajar menjadi dinamika produktif mendukung jaminan mutu. Lembaga pendidikan dituntut melakukan kontrol penjaminan mutu yang ketat. Jika lembaga pendidikan alpa untuk melakukan peningkatan kompetensi, maka setiap individu wajib melakukan pengembangan diri dengan inisiatif sendiri.

Pemandangan suasana belajar di kampus, kerapkali kita jemu melihat mahasiswa tidak gemar membaca, bahkan, malas berfikir. Mahasiswa masih menjadikan ruang kuliah sebagai ruang tunggu. Sebagaimana biasanya psikologi di ruang tunggu, menunggu dan menunggu bahkan “bengong” “ngerumpi sana sini”. Berharap hadirnya keilmuan hanya dari dosen yang datang. Seyogyanya di era berubahan, ruang kelas dijadikan sebagai tempat mempertemukan teori dan pengalaman keilmuan yang telah dipelajari sendiri sebelumnya oleh mahasiswa, analisis keilmuan didiskusikan di dalam kelas bersama teman, senior dan dosen.

Dinamika belajar ditunjukkan oleh seluruh elemen yang ada di perguruan tinggi, iklim akademik yang mimpikan yaitu learning culture, demikian itu akan memantaskan perguruan tinggi menjadi agen perubahan. Jika tidak responsif terhadap tuntutan perubahan, bukan hal yang mustahil, out put dari perguruan tinggi akan diabaikan oleh pemangku kepentingan, tidak dibutuhkan oleh dunia usaha dan masyarakat, akibat tidak adanya jaminan mutu pendidikan dari perguruan tinggi. Perusahaan kelas dunia misalnya, tidak lagi mempertimbangkan ijazah perguruan tinggi untuk merekrut karyawan, stakeholders akan mengandalkan kompetensi individu walau tidak berijazah pendidikan tinggi.

Kapasitas pengembangan suatu lembaga pendidikan ditunjukkan oleh dinamika belajar yang kuat, semangat belajar ditunjukkan oleh seluruh komponen pendidikan di lembaga itu. Mahasiswa sibuk belajar dan menulis. Para dosen sibuk meneliti, mengajar dan pengabdian pada masyarakat. Pemimpin perguruan tinggi lebih sibuk mendesain kampus menjadi habitat yang layak bagi para pecinta ilmu.

Konstruksi pendidikan diorientasikan untuk memuliakan manusia, bukan memintarkan. Karena pintar saja belum cukup, kepintaran bukan modal satu-satunya untuk bisa sukses. Selain pintar, kita memerlukan instrumen lainnya yaitu analitis, kritis, kreatif dan imajinatif. Pendidikan yang memuliakan adalah yang mampu mewujudkan perubahan melalui intensitas belajar, perubahan holistik, baik sebagai pribadi atau sosial. Kemuliaanya (molja; Madura) diukur dengan kemampuannya untuk melakukan fenomena perubahan yang dirasakan manfaatnya dan ditunggu hadirnya untuk outlook dan knowledge share oleh masyarakat.

Pendidikan yang memuliakan diperoleh dengan ketekunan belajar, bersedia berada di zona tidak nyaman untuk kepentingan perubahan, berubah dari posisi awam ke ‘alim. Hal demikian sudah diteladankan oleh ulama terdahulu, mereka bersedia puasa dari kenikmatan duniawi (keluar dari zona nyaman), man lam yadzuq dzullat ta’allumi saa’atan tajarro’a dzullal jahli thuula hayaatihi. Label kemuliaan ‘se molja’ yang disandangkan oleh masyarakat, lebih kepada bagaimana seorang terdidik memperlakukan ilmu. Pendidikan mengorganisasikan ilmu tidak hanya sebatas kognisi, ilmu butuh ihsan untuk mencerahkan, ihsan dapat diwujudkan dengan moral (afeksi) dan skill (psikomotorik). Eksistensi ilmu adalah pencerahan (cahaya) yang diekspektasikan dengan perubahan.

Pendidikan tidak boleh didistorsi hanya untuk memintarkan, hanya mengurus angka-angka pada nilai ujian. Pendidikan dirancang untuk membangun karakter, menanamkan nilai attitude of knowledge, cinta pada ilmu. Para orang tua bukan lagi kecewa karena nilai rapor anaknya rendah, tetapi kecewa karena menjadi orang pintar tapi tertutup yang hanya ‘alimun linafsihi’. Organisasi ilmu dalam pendidikan diharapkan mampu melahirkan orang pintar yang terbuka. Welcome terhadap fakta-fakta baru dan adaptif terhadap fenomena yang berkembang. Sadar sebagai the human being is the learning organizm, tidak resisten terhadap pembaruan, bersikap selalu ingin belajar (corious), berani untuk mewujudkan mimpi masa depan untuk kepentingan orang banyak.

Kebalikan dari coriuos adalah mediocer yang bersikap setengah hati, tidak bersungguh-sungguh untuk berubah, penyakit turunannya adalah inersia yang bangga berlebih melihat ke dalam, asyik pada capaian masa lalu, nasib di masa depan dapat diraih dengan negoisasi, tidak terbuka bagi hadirnya perubahan. Jika sikap inersia ini menjangkiti pelaku pendidikan, maka penyambutan masa depan pendidikan akan penuh was was, ia merupakan ancaman bagi institusi karena cenderung menurunkan standar kualitas, kinerjanya terus merosot. Akibatnya, penerimaan publik rendah.

Pendidikan membangun nilai-nilai yang diinternalisasikan melalui program akademik, merekam dari apa yang dilihat, didengar dan dibaca dalam kehidupan sehari-hari, kemudian dianut sebagai role model, dipraktikkan sebagai pengharapan terjadinya perkembangan.

Untuk merespon setiap perkembangan, kita perlu untuk mendudukkan orientasi akademik, apakah hanya akan memintarkan secara akademis, tertutup dan inersia, atau membebaskan diri dari berbagai belenggu. Proses pendidikan diharapkan mampu melakukan breakthrough agar bisa hebat menjawab tantangan masa depan, juga dahsyat manjawab tantangan di depan massa. Dalam merespon perubahan perlu re-setting value, mindset, pola pokir, attitude of knowledge menjadi kampus yang berkarakter. Karena agenda besar dalam berdaya saing adalah growing the caracter pada squad, merapatkan shaf untuk menjemput hadirnya perubahan.