Oleh: Achmad Faesol, M.Si.

Dinas Pendidikan (diknas) Sampang berencana me-regrouping 28 lembaga sekolah dasar (SD) di sejumlah kecamatan. Rencana ini disebabkan karena banyak sekolah yang jumlah muridnya tidak memenuhi rombel (Radar Madura Jawa Pos, 5/9/2017). Masalah serupa juga terjadi di Bangkalan, kabupaten tetangga Sampang. Banyaknya sekolah dasar (SD) yang kekurangan peserta didik menjadi bahan evaluasi Dinas Pendidikan (diknas) setempat untuk melakukan regrouping (Radar Madura Jawa Pos, 4/9/2017).

Kekurangan peserta didik memang bukan satu-satunya alasan penggabungan beberapa sekolah dasar. Namun, semakin sedikitnya jumlah siswa SD di Madura dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir sudah seharusnya menjadi perhatian semua pihak. Terutama para pengambil kebijakan mulai dari tingkat kabupaten, propinsi hingga pusat.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Timur, pada tahun 2015 jumlah murid SD di empat kabupaten di Madura sebanyak 354.670 anak. Bila dibandingkan dengan jumlah siswa tahun 2017 yakni sebesar 310.470, maka telah ada penurunan jumlah siswa sekitar 44.200 anak.

Jumlah ini belum seberapa dibanding tahun sebelumnya. Karena pada tahun 2014, siswa SD sebanyak 406.496. Artinya, hanya dalam jangka waktu satu tahun, dari 2014 ke 2015, telah ada penurunan siswa yang cukup fantastis, sekitar 51.826. Tidak hanya siswa, jumlah sekolah dasar pun mengalami kemerosotan. Bila di tahun 2014 ada 671 SD, maka pada tahun 2015 berkurang menjadi 629 sekolah.

Bila mutu pendidikan sekolah dasar masih dianggap penting untuk dipertimbangkan maka realitas macam ini tidak bisa dimaklumi begitu saja. Potret berkurangnya jumlah siswa dari tahun ke tahun di Pulau Madura sudah selayaknya diraba akar persoalannya. Selain sebagai bahan evaluasi kebijakan pendidikan nasional, penurunan kuantitas bisa dipakai untuk melihat pola dasarnya.

Mengurai Persoalan

Tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan adalah industri. Realitas pendidikan tidak bisa dilihat hanya sebatas dunia belajar mengajar saja yang didasari semangat menyebarkan ilmu. Geliat tumbuh tumbang lembaga pendidikan di tanah air adalah potret nyata api persaingan eksistensi itu terus menyala. Lihatlah misalnya persaingan perebutan jumlah murid setiap tahun ajaran baru. Ajang adu gengsi dengan menampilkan torehan nilai terbaik pada Ujian Nasional. Semuanya saling berkompetisi yang ujung-ujungnya untuk menarik minat calon murid.

Maka dari itu, pertambahan populasi siswa madrasah ibtidaiyah (MI) pada dasarnya adalah “ancaman eksistensi” atas kuantitas murid sekolah dasar. Bila kuantitas murid SD mengalami kemerosoton dari tahun ke tahun, MI malah menunjukkan grafik kenaikan.

Masih berdasar data dari Badan Pusat Statistik Jawa Timur, jumlah MI di Madura pada tahun 2015 sebanyak 542 unit. Jumlah ini mengalami penambahan di tahun 2017 menjadi 555 unit. Hal serupa terjadi untuk jumlah siswa. Jika di tahun 2015 jumlah siswa MI hanya 45.171, maka dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun ini, sudah ada sebanyak 45.534 siswa. Tidak signifikan memang kenaikannya, tapi hal ini masih jauh lebih baik bila dibanding dengan realitas jumlah siswa SD di tahun yang sama.

Ada beberapa faktor utama penyebab masyarakat Madura masih tertarik dan tetap bersikokoh untuk menyekolahkan anaknya ke madrasah ibtidaiyah ketimbang sekolah dasar.

Pertama, kultur keagamaan. Pada satu sisi, perbedaan yang nampak sangat mencolok antara madrasah ibtidaiyah dengan sekolah dasar adalah ragam muatan pelajaran agama. Di madrasah ibtidaiyah, hampir seluruh aspek-aspek dasar keagamaan semuanya tersaji. Mulai dari baca tulis Al Qur’an hingga persoalan fiqh dan tauhid. Pemandangan sebaliknya justru terjadi di sekolah dasar.

Sedangkan pada sisi lain, sudah jamak diketahui publik bahwa agama bagi masyarakat Madura merupakan hal yang dianggap masih sangat penting. Bahkan bagi mereka yang tinggal di pelosok desa nun jauh terpencil di sana, adagium “lebih baik anak tidak bisa baca huruf latin asalkan bisa mengaji” masih dengan mudah dijumpai. Pola pikir ini menegaskan bahwa bagi masyarakat Madura, masalah agama adalah pondasi yang paling penting dan paling utama dalam pendidikan anak. Dengan demikian, maka sangat wajar bila kemudian madrasah ibtidaiyah menjadi pilihan pertama sebagai tempat mengenalkan anak dengan nilai-nilai agama.

Kedua, relasi kiai santri. Di beberapa kalangan masyarakat muslim pedesaan Madura ada semacam tradisi dimana anak disekolahkan di madrasah ibtidaiyah yang sama dimana bapak atau ibunya dulu pernah sekolah. Tradisi macam ini mengeram dalam ruang kesadaran sosial, membentuk pola pikir dan menjelma sebagai pedoman hidup dalam bermasyarakat yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Kendatipun citra kiai Madura yang terjun dalam dunia politik kian nampak buram seiring makin banyaknya yang terjerat kasus korupsi, namun harus tetap diakui bahwa kharisma seorang kiai masih tetap mempesona di mata masyarakat. Konstruksi sosial atas diri kiai tidak memudar oleh ulah perilaku segelintir politisi karbitan.

Maka, bagi santri yang sudah berkeluarga dan dikarunia anak, melanjutkan tradisi pendidikan seperti ini adalah kewajiban. Tujuannya agar anak menjadi penyambung mata rantai barokah yang terus mengalir dari kiai ke keluarga santri. Karena bagi seorang santri, kiai bukan sekedar guru yang hubungannya sebatas aktifitas belajar mengajar di kelas.

Relasi kiai santri juga dirawat oleh sebuah event tahunan yang bernama haflatul imtihan. Acara ini pada umumnya berlangsung setelah ujian dan menjelang Bulan Ramadhan. Selain ada acara perlombaan dan pengajian, haflatul imtihan juga menjadi ajang reuni tahunan para alumni dengan kiai.

Ketiga, sebaran geografis. Ketertarikan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke madrasah ibtidaiyah ketimbang sekolah dasar sebenarnya banyak terjadi di kawasan pedalaman desa saja. Fanatisme atas madrasah ibtidaiyah hanya bersifat geografis semata. Karena itu wajar bila di pelosok-pelosok desa sebaran jumlah MI jauh lebih banyak bermunculan dibanding jumlah SD.

Bagi masyarakat kota dan sekitarnya atau di sepanjang ruas jalan antar kabupaten, sekolah dasar telah menjadi pilihan utama. Adapun pelajaran agama bisa disalurkan di madrasah diniyah atau Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) setelah pulang sekolah.

Merk and Marketing

Bila ditelusuri pada lapisan pemahaman yang lebih mendalam maka akan nampak bahwa kelemahan mendasar sekolah dasar di kawasan pedesaan di Pulau Madura terletak di merk dan marketing. Dua hal ini saling melengkapi satu dengan yang lain.

Merk lebih bersifat internal. Ia berurusan dengan dapur akademik. Komposisi racikan pelajaran sehari-hari yang minus pelajaran agama tak ubahnya menjelma sebagai merk dagang. Sekolah hanya menjadi tempat anak belajar ilmu-ilmu dunia saja. Padahal hidup tidak hanya di dunia tapi juga akhirat. Citra macam ini malah hadir di tengah-tengah masyarakat yang urusan agama masih begitu diperhitungkan. Sedangkan madrasah ibtidaiyah malah sebaliknya.

Kalau merk arahnya ke dalam, maka marketing cenderung eksternal. Sekolah dasar di pelosok desa di Madura sangat miskin jaringan pemasaran. Promosi sekolah dasar kalah jauh dibanding madrasah ibtidaiyah. Jarang terdengar ada acara rutin lembaga yang tujuannya untuk memperkuat jaringan dengan masyarakat sekitar layaknya haflatul imtihan kalau di madrasah ibtidaiyah.

Coba bandingkan dengan rival terdekatnya. Hubungan MI dengan masyarakat sekitar begitu dekat. Ikatan para alumni diwadahi pertemuannya minimal sekali setahun. Implikasinya, para alumni begitu gencar mempromosikan almamaternya guna menjaring calon siswa baru.

Maka bila sekolah dasar hendak memperluas pangsa pasar hingga ke pelosok desa, merk dan marketing harus dibenahi. Sekolah dasar jangan hanya menyajikan “menu dunia” saja. “Menu akhirat” harus ditambah jenis dan jam pelajarannya. “Selera makan” masyarakat harus diperhitungkan agar menu yang disajikan tepat sasaran.

Sekolah dasar harus pula berani mencoba masuk dalam ruang interaksi masyarakat. Sekolah dasar jangan berdiri sendiri di sini dan ada masyarakat desa di sana. Sekolah dasar harus ikut serta menjadi bagian dari kami. Harus ada kegiatan rutin yang melibatkan emosi masyarakat. Harus ada acara dimana para alumni terlibat di dalamnya.

Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah?

Terlepas dari uraian di atas, melacak faktor penyebab merosotnya jumlah siswa SD di Madura kemudian mengklaim sebagai satu-satunya akar persoalan bukanlah sikap bijak. Karena masalah pendidikan macam ini tak mungkin disebabkan oleh hanya satu masalah saja, tapi sudah pasti dilatari oleh beragam varian hal.

Begitupun sikap membandingkan antara SD dengan MI. Keduanya bukan berada di dua tempat terpisah dan saling berkompetisi. SD dan MI bukan pesaing yang saling menjatuhkan. Keduanya saling mengisi dan melengkapi. Baik SD maupun MI adalah lembaga pendidikan yang sama-sama berperan sebagai media pencerdasan generasi bangsa.

Masalah perbedaan jumlah siswa diantara dua lembaga ini pada dasarnya lebih mirip pada persoalan “selera makan” para orang tua dalam menyekolahkan anak-anaknya. Ada orang tua yang lebih menyukai warung SD karena di sana ada menu nasi rawon. Sedangkan orang tua lainnya lebih tertarik ke warung MI sebab di sana tersaji hidangan nasi rames. Diantara keduanya tak ada yang lebih baik atau lebih penting. Karena yang paling penting adalah semua orang tua bisa memberi makan anak-anaknya agar tidak kelaparan.