Khomsiyatul Mukarromah[1]

 

Insan kamil merupakan sebuah konsep paling ideal dalam pencapaian kualitas manusia dalam segala dimensinya. Dalam perjalananya banyak hambatan yang harus dihadapi dan diatasi. Di era teknologi dan informasi dewasa ini kehadiran media—media massa (baca: televisi) menjadi sangat lazim diperbincangkan. Seberapa besar pengaruh media terhadap pengetahuan, mental, sikap, dan spiritual manusia bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan lagi. Televisi dengan kapasitasnya dapat menjadi pendorong sekaligus penghambat dengan potensi yang sama besar.

Fenomena yang berkembang adalah konten televisi di Indonesia kini semakin menampakkan warna-warna duka dalam persebarannya yang sangat massif. Komposisi siaran penuh dengan hiburan mulai dari tayangan sinetron, infotainment, realityshow, charityshow, komedi, berita kriminal dan lainnya yang sangat jauh dari peran mendidik. Lantas, dimana program siar yang aturannya harus mengandung 70% unsur pendidikan? Bahkan acara yang terkesan berkelas seperti talkshow yang narasumbernya adalah “orang berpendidikan” belum lepas sepenuhnya dari framing media. Komisi Penyiaran Indonesia dituntut untuk semakin tegas memberikan sanksi kepada stasiun televisi yang kurang baik, sebagaimana masyarakat Indonesia pun “tidak boleh pasif” dalam melakukan pengawasan dan kritik terhadap industri pertelevisian dan pemerintah selaku regulator penyiaran.

Tulisan ini berupaya untuk menawarkan sebuah konsep literasi media sebagai jawaban atas permasalahan utama. Literasi media merupakan sebuah kemampuan mengakses, memahami, menganalisis, mengevaluasi, dan memproduksi informasi media dalam berbagai konteks. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat mampu bersikap kritis dan kreatif, tidak tunduk begitu saja dengan eksploitasi media tetapi membuat mereka berekplorasi—terampil bermedia. Tulisan ini bukanlah keparoidan terhadap media, tetapi membiarkannya tanpa kontrol aktif adalah sebuah kebodohan.

 

Kata kunci: insan kamil, televisi, literasi media

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pengantar

Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wasallam adalah representasi yang tepat sebagai insan kamil sebagaimana sabda Allah Subhanahu Wata’ala bahwa “sesungguhnya pada diri Rasulullah-lah uswatun hasanah—teladan yang baik itu”. Insan kamil merupakan sebuah konsep manusia yang paling ideal dalam segala dimensinya yang setiap mata ingin mencapainya. Namun dalam perjalanannya pencapaian insan kamil itu bukanlah sesuatu yang mudah walaupun bukan berarti tidak bisa. Dari masa ke masa hambatan dan tantangan semakin kompleks dari berbagai sisi kehidupan.

Tantangan kompleks itupun juga terjadi dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Dihadapkan pada rumitnya problem sosial, politik, ekonomi, budaya, dan hukum, Indonesia juga mengalami transformasi dalam sistem bermedia. Kontrol ketat pemerintah atas sistem media yang terjadi dalam masa pemerintahan Orde Baru, bertransformasi menjadi sistem media yang lebih terbuka dan bebas namun tidak bisa dilepaskan dari kontrol pasar (market). Era Reformasi ditandai dengan melemahnya kontrol pemerintah terhadap media, namun juga menguatnya kontrol oleh pasar. Salah satunya ditandai dengan meningkatnya jumlah entitas perusahaan media yang berdiri sejak dimulainya Era Reformasi pada 1998. Ambardi dkk menulis (2014, h. 6)[2]

The number of national television channels has doubled since 1998; commercial radio stations have tripled; and the number of print newspapers has more than quadrupled. This has occurred alongside and in tandem with a rapidly growing online news sector populated by a mixed ecology of established brands and new entrants

 

 

Dalam laporan oleh Ambardi dkk tersebut (h. 19) menurut survei oleh Badan Pusat Statistik (BPS),televisi masih diminati dengan jumlah pengguna dalam angka 90,2% dari total penduduk Indonesia hingga tahun 2009. Data BPS ini didukung oleh data dari Nielsen Media Research, bahwa penetrasi televisi mencapai 90,7%, radio 39%, surat kabar 29,8%, majalah 22,4%, internet 8,8%, dan bioskop 15% (Media Index-Nielsen Media Research, 2004). Berdasarkan data yang lebih baru konsumsi masyarakat Indonesia terhadap televisi berada diangka 95%, internet 33%, radio 20%, surat kabar 12%, tabloid 6%, dan majalah 5% (Media Index-Nielsen Media Research, 2014).[3] Dari data tersebut terlihat bahwa selama 10 tahun terakhir penetrasi televisi mengalami peningkatan sebesar 4,3% sementara Internet mengalami peningkatan 24,2%. Dari hasil riset Nielsen Indonesia juga, frekuensi menonton televisi di Indonesia setiap orang rata-rata menonton selama 4,5 jam dengan audiens diatas umur 10 tahun.[4] Hal ini cukup memprihatinkan karena jika diukur pada anak usia sekolah, itu artinya sisa waktu mereka selepas pulang dari sekolah digunakan untuk menonton televisi.

Televisi sangat layak mendapatkan perhatian yang cukup tinggi mengingat eksistensinya yang tidak akan pernah berakhir sebagaimana Perebinossoff, Gross dan Gross utarakan,[5] “media elektronik akan selalu eksis kendati kehadiran media baru—Internet sudah mulai dirasakan, ia hanya butuh pemrograman ulang”. Selain itu menurut Sunardian Wirodono[6] televisi adalah media yang paling luas dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, media ini tidak membebani masyarakat untuk menikmati karena bersifat audio-visual. Kegelisahan yang sama akan keilmuan dan pengetahuan juga disampaikan oleh Seno Gumira Ajidarma dalam penerimaan South East Asia (SEA) Write Award 1997 hingga ia membagi masyarakat kedalam dua jenis yakni, masyarakat yang mengisi waktu (to fill time) dan masyarakat yang membunuh waktu (to kill time).[7]

 

Sekilas Tayangan Televisi di Indonesia

Pasca Orde Baru, sistem media di Indonesia menunjukkan kecenderungan takluk pada kuasa modal, pasar  dan kepentingan politik. Di era pergerakan nasional, media yang didirikan adalah khususnya untuk menggelorakan semangat menentang kolonialisme Belanda dan kemudian Jepang. Di era Orde Lama, media berada dibawah pengawasan pemerintah dan dilarang menyebarluaskan hal-hal yang sifatnya kontrarevolusioner. Pada masa awal pemerintahan Orde Baru yaitu di akhir 1960-1970an, hubungan mesra antara pemerintah dan media masih terasa. Baru setelah itu, pemerintahan Soeharto mengawasi ketat media yang ada. Pemberitaan yang muncul di berbagai media, yang dinilai tidak sejalan dengan kepentingan penciptaan “stabilitas nasional dan cita-cita pembangunan” akan dikenai sanksi hukum atau bahkan pencabutan izin terbit media yang bersangkutan.

Era komersialisasi televisi dimulai pasca lahirnya PT. Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) pada tahun 1989. Kelahiran RCTI sekaligus menandai berakhirnya era monopoli Televisi Republik Indonesia (TVRI). Sejak itu pula, bermunculan beragam stasiun televisi swasta yang tentu bersifat sebagai profit-oriented media. Stasiun televisi didirikan dengan biaya awal yang sangat tinggi sehingga hanya sekelompok kecil saudagar saja yang bisa mendirikannya. Besarnya entry cost pendirian stasiun televisi juga berkesinambungan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk tetap mengudara, seperti misalnya biaya produksi program dan biaya operasional stasiun televisi. Hal inilah yang menjadikan televisi Indonesia bekerja berdasarkan hukum ekonomi paling dasar yaitu pengeluaran sekecil mungkin demi meraup keuntungan sebesar mungkin.

Tayangan-tayangan di stasiun televisi swasta pasca Orde Baru mengumbar isi cerita fiksi yang tidak logis, humor sarkastik bahkan merendahkan orang lain, berita-berita yang bias/tendensius, infotainment yang mengumbar privasi selebriti, tayangan mistik, dan kartun yang tak sesuai untuk edukasi anak. Hal ini terkait dengan pendapat dengan Dallas Smythe (dalam Mosco, 2009: 77)[8] tentang konsep audience commodity. Bagi Smythe, media pada hakikatnya “menjual” audiens kepada para pemasang iklan. Semakin banyak jumlah audiens pada suatu mata acara, semakin besar potensi acara itu untuk mendapat sebanyak-banyaknya iklan. Hal ini karena bagi para pemasang iklan, mereka tidak membeli apapun kecuali jumlah audiens (they buy nothing but numbers). Artinya, terlepas dari buruknya kualitas acara di suatu stasiun televisi, sejauh acara itu bisa mendatangkan keuntungan bagi mereka maka habislah masalah. Dari fenomena ini, aspek kemampuan kritis para penonton televisi mutlak diperlukan.

 

 

 

Literasi Media: Apa dan Bagaimana

Ada banyak definisi mengenai literasi media. Diantaranya definisi dari perspektif psikologis pemrosesan informasi W. James Potter[9]  mengatakan bahwa literasi media sebagai serangkaian perspektif yang digunakan secara aktif untuk menghadapi terpaan media, menginterpretasi, dan mengcounter makna dari pesan media. Bagi Potter kunci literasi media adalah membangun struktur pengetahuan yang baik. Individu perlu memilki pengetahuan tentang efek media, isi media, industry media, dunia nyata dan diri. Dari sekian banyak definisi mengenai komunikasi yang penulis simpulkan dari media literacy ini adalah Literasi media merupakan sebuah kemampuan mengakses, memahami, menganalisis, mengevaluasi, dan memproduksi informasi media dalam berbagai konteks. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat mampu bersikap kritis dan kreatif, tidak tunduk begitu saja dengan eksploitasi media tetapi membuat mereka berekplorasi—terampil bermedia.

Dengan kemampuan literasi media  tiap individu akan memiliki perspektif yang jauh lebih jelas untuk melihat dan membedakan dunia nyata dan dunia  hasil produksi media. Ketika individu sudah dibekali dengan literasi media ia akan memiliki peta yang jelas untuk menuntun dirinya di dunia media tanpa tunduk pada kebenaran media. Di Inggris, media literacy menjadi tanggung jawab Ofcom—Office of Communication. Ofcom mendefinisikan  media literacy sebagai kemampuan untuk menggunakan, memahami, dan menciptakan komunikasi dan media dalam berbagai konteks. Dari definisi ini disamping pemahaman,  kreatif komunikasi menjadi penekanan.[10]

Literasi media kini adalah sebuah keharusan ditengah masyarakat teknologi informasi. Pendidikan media adalah kebutuhan ditengah kehidupan masyarakat yang kesehariannya berinteraksi dengan media. Ada tiga fungsi utama literasi media:[11]

  1. Media dianggap berpotensi merugikan dan dapat memberikan dampak negatif sehingga khalayak perlu diberi pendidikan literasi. Tidak sekedar menginformasikan tentang realitas media, literasi juga diharapkan dapat menggugah kesadaran masyarakat agar dapat mengnsumsi informasi secara sehat. Kesadaran merupakan sebuah rasa kepekaaan terhadap sesuatu hal yang direfleksikan dari hati yang pada intinya merupakan hasil dari penyatuan antara hati dengan otak terhadap kebenaran yang sebenarnya.[12] Kesadaran merupakan kekuatan luar biasa yang dapat mengubah cara pandang serta sikap manusia karena kesadaran itu melebihi kepandaian manusia itu sendiri.
  2. Pemberdayaan

Media memiliki fungsi positif sebagai salah satu sumber belajar. Kegiatan literasi media dilakukan untuk member pengetahuan dan keterampilan pada khalayak agar dapat mengoptimalkan isi media untuk diri dan masyarakat.

  1. Studi media

Literasi media dilakukan dengan titik berat pada mempelajari struktur isi pesan media berdasar media yang berbeda, teknik produksi, dan pengemasan isi pesan, yang lebih dimaksudkan sebagai upaya untuk mempelajari medianya.

 

Elizabeth  Thorman dan Tessa Jolls dari Center for Media Literacy (CML) Amerika Serikat mengungkapkan media literacy menyediakan kerangka untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, membuat, dan berpartisipasi dengan pesan dalam berbagai bentuk.[13]Perspektif berpikir yang digunakan dalam litersi media dalah perspektif kritis dan keterampilan komunikasi yang dikembangkan melalui peningkatan kesadaran terhadap proses produksi media. Pendidikan media literacy di Kanada dibangun dalam delapan konsep kunci yang menyediakan pijakan secara teoritis, yaitu[14]:

  1. Semua media adalah hasil konstruksi. Media tidak saja menjadi cermin realitas eksternal. Media menghasilkan produk yang dibuat terencana;
  2. Media membangun berbagai versi yang berbeda tentang realitas. Didalamnya, pesan media datang dengan observasi, sikap, dan interpretasi yang tentunya dari kacamata media.
  3. Khalayak menegosiasikan makna dalam media. Setiap orang berinteraksi dengan cara yang unik terhadap teks media berdasarkan factor tertentu, seperti jenis kelamin, usia, dan pengalaman hidup;
  4. Pesan media memiliki implikasi komersial. Pendidikan media mencakup kesadaran terhadap (produk) media massa sebagai entitas bisnis. Isu kepemilikan dan control sangat penting;
  5. Media berisi pesan nilai dan ideology. Pendidikan media melibatkan kesadaran terhadap implikasi ideology dan system nilai teks media;
  6. Pesan media memiliki implikasi social dan politik. Pendidikan media melibatkan kesadaran terhadap berbagai dampak social dan politik yang berasal dari media;
  7. Bentuk dan isi yang ditampilkan media berkaitan erat dengan pesan media. Membuat bentuk/koneksi isi berkaitan dengan tesisi Marshall McLuhan bahwa media adalah pesan.
  8. Setiap medium memilikibentuk estetik yang unik. Hal ini memungkinkan siswa tidak hanya untuk memecahkan kode dan memahami teks-teks media, tetapi juga untuk menikmati bentuk estetika yang unik dari masing-masing media.

Di Amerika Serikat, konsep kunci media literacy diwujudkan dalam lima konsep yang diperkenalkan oleh CML, yaitu:[15]

  1. Semua pesan media itu dikonstruksikan;
  2. Pesan media dikonstruksi menggunakan bahasa kreatif dengan aturan yang dibuat sendiri oleh media;
  3. Pesan yang sama bisa dimaknai berbeda-beda tergantung individunya;
  4. Media mempunyai nilai dan sudut pandang sendiri;
  5. Kebanyakan pesan media diorganisasikan sedemikian rupa agar si pembuat pesan memperoleh keuntungan dan atau kekuasaan tertentu.

Dari kegiatan literasi media yang sudah pernah berlangsung berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan literasi media di Indonesia sudah berlangsung sejak tahun 1991  hingga tahun 2011 sudah berkisar 88 kegiatan yang meliputi:[16]

  1. Literasi Media oleh NGO/LSM

Literasi media yang dilakukan oleh LSM lebih banyak dalam bentuk pelatihan, seminar, Training of Trainer (TOT) dan lokakarya dengan melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan ataupun langsung kepada masyarakat.Sebagai contoh, The Habibie Center (THC) tahun 2010 menyelenggarakan program literasi media bertajuk Cerdas Bermedia untuk Toleransi. Program ini melibatkan siswa tingkat SMA agar mereka dapat menganalisis, menilai, dan bahkan memproduksi media sendiri untuk menyuarakan keberagaman toleransi. Kegiatan tersebut dilaksanakan di tiga kota yakni palu, Ambon, dan Depok. Pertimbangannya adalah karena di Palu dan Ambon pernah terjadi konflik. Media dinilai ikut berperan dalam melanggengkan stereotip buruk tentang kelompok yang terlibat konflik. Sementara Depok dipilih karena keberagaman masyarakatnya. Dari program ini THC berharap agar remaja lebih cerdas dalam bermedia sehingga tidak terpengaruh dengan konten negative nedia yang dapat memicu konflik

Contoh lain yang tidak kalah menarik adalah LSM yang dimotori oleh para ibu bernama “We R Mommy” (WRM) Yogyakarta menyelenggarakan kegiatan diskusi Telaah Kritis Program Televisi untuk Anak-Anak pada tahun 2008. Bekerjasama dengan KPID DIY, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), akademisi serta pihak lain. Pada program itu mereka membicarakan program yang berdampak negative pada anak dan bagaimana membentuk kultur menonton yang baik dalam keluarga.

 

  1. Literasi Media oleh Sekolah

Sejauh ini pendidikan literasi media yang diterapkan di sekolah-sekolah masih berupa seminar-seminar yang pelaksanaanya bekerja sama dengn LSM. Beberapa kegiatan literasi media yang berlangsung melibatkan murid, guru, juga orang tua murid. Kegiatan ini biasanya tidak memiliki tindak lanjut. TK dan SD Lentera Insan Child Development and Education Center (CDEC) di Depok menjadikan pendidikan pedia sebagai salah mata pelajaran yang diintegrasikan dalam kurikulum yang dilaksanakan dua minggu sekali selama 30 menit.

 

  1. Literasi Media oleh Perguruan Tinggi

Literasi media di tingkat perguruan tinggi adalah yang cukup aktif terutama perguruan tinggi yang memiliki jurusan komunikasi. Literasi media dimasukkan dalam mata kuliah mahasiswa dan kebanyakan perguruan tinggi memasukkan literasi media ke dalam mata kuliah komunikasi massa.

Dari hasil penelusuran menunjukkan bahwa ada beberapa perguruan tinggi di Indonesia yang sudah melakukan kegiatan literasi media dalam kegiatan beragam. Seperti kegiatan penelitian  hingga terjun langsung ke masyarakat untuk mensosialisasikan pentingnya literasi media. Namun ada juga beberapa perguruan tinggi yang menyelenggarakan kegiatan literasi media dengan target peserta civitas akademika kampus itu sendiri dengan harapan agar menjadi agen literasi media untuk masyarakat. Selain itu, kegiatan literasi media dilaksanakan dengan membentuk lembaga khusus seperti lembaga pengabdian masyarakat yang memang focus terhadap kegiatan ini.

Dari hasil penelitian Konsep dan Implementasi Literasi Media dalam Kumpulan Makalah Workshop Nasional Konsep & Implementasi Media Literacy  di Indonesia, diperoleh gambaran bahwa tujuan literasi media adalah menghasilkan skill antara lain: (i) mampu menggunakan media dengan efektif untuk memenuhi kebutuhan diri dan masyarakat; (ii) mampu memilih dan mengakses informasi dari berbagai bentuk media dan konten dari berbagai sumber budaya dan institusi yang berbeda; (iii) mampu menganalisis secara kritis terkait konten media: pesan, penggunaan bahasa dan lainnya; (iv) mampu menggunakan media secara kreatif untuk mengekspresikan ide dan pendapat; dan (v) mampu menjadi  manusia kreatif, menciptakan konten media sehat dalam rangka menjalankan hak demokratis dan tanggung jawab warga negara.[17]Dalam tulisan ini, penulis mengusulkan dua aspek lain untuk menjadi sasaran outcome program literasi media di tingkat manapun, yaitu aspek pengetahuan (knowledge) dan nilai (value). Dalam aspek pengetahuan, literasi media diharapkan mampu memberikan wacana memadai tentang media literasi sehingga mengetahui proses produksi hingga pada hasilnya serta dapat  memilih, mengakses, menyimpan, mengambil, berbagi konten sehingga manjadi manusia cerdas dan kritis. Sedangkan dari aspek nilai, literasi media diharapkan mampu meningkatkan sikap positif dalam bermedia sehingga menjadi manusia beriman dan berakhlak mulia.

 

 

 

Literasi Media dan Lahirnya Insan Kamil: Suatu Tujuan Bersama

Generasi kontemporer adalah generasi penikmat media. Mereka hidup dalam fase kebergantungan penuh terhadap media (media dependency) dan fase jenuhnya informasi (media-saturated environment). Seorang filsuf Prancis, Jean Baudrillard pernah mengatakan bahwa tantangan masa depan (baca: masa kini) bukan tentang kekurangan informasi, melainkan kelebihan informasi. Baudrillard merumuskan pernyataan, “We live in more and more information but less and less meaning”. Ketika akses terhadap beragam konten media menjadi semakin mudah, pertanyaannya adalah apakah sedemikian besar jumlah informasi dari media tersebut akan mencerahkan mereka atau sebaliknya.

Insan kamil yang terwujud dengan sempurna dalam diri Rasulullah Muhammad SAW patut menjadi nilai-nilai yang harus terus ditanamkan pada setiap individu. Rasul telah mengajarkan kehidupan yang beriman, saling menghormati, damai, beradab, memuliakan sesama dan semesta alam, tidak membunuh, menutup aurat, berhati-hati dalam relasi antar lawan jenis, tidak berzina, tidak curang, tidak mencuri, dan sebagainya. Nilai-nilai yang nyaris kontras ditampilkan oleh televisi kita pada masa modern ini. Generasi kita dengan mudah menyaksikan tayangan yang kontradiktif. Dan lebih celaka bila mereka kemudian mempercayai atau menganut nilai-nilai negatif yang diterima itu.

Oleh karena itulah kemampuan literasi media sangat dibutuhkan dalam rangka melahirkan manusia-manusia mulia, manusia teladan. Anak-anak di berbagai jenjang pendidikan perlu dibekali dengan pemahaman tentang realitas media. Dengannya,  mereka tahu bahwa apa yang ditonton adalah hasil rekonstruksi belaka, dan bahwa mereka perlu memilih nilai-nilai yang baik untuk diresapi dan nilai-nilai yang buruk dari media untuk ditolak. Lebih dari itu, nilai-nilai agama perlu terus dikuatkan mengingat bahwa kita tengah memasuki gelombang pascamodern (postmodern).

Era pascamodern ini ditandai dengan melunaknya garis-garis batas antar-nilai (relativitas nilai) dan memudarnya grand narrations (narasi-narasi besar) yang salah satunya ditandai dengan melemahnya adalah kepercayaan terhadap nilai agama. Bagi sbagian generasi muda, agama tidak lebih dianggap sebagai “nilai-nilai lama” yang tidak relevan lagi bagi kehidupan mereka. Peran aktif orang tua di rumah, guru, para pemuka agama, pemerintah, sangat diperlukan untuk mewujudkan insan kamil. Seorang pakar kajian Komunikasi Internasional, Akbar S. Ahmed pernah mengatakan “Bahwa ancaman terhadap Islam bukan datang dari warisan Yesus, melainkan dari warisan Madonna”.[18]Heterogenitas atau kemajemukan agama, budaya, nilai-nilai, suku bangsa dan ras dalam peradaban manusia bukanlah menjadi ancaman sesungguhnya dalam proses melahirkan manusia-manusia berakhlak mulia. Namun ancaman sesungguhnya berasal dari transfer nilai yang sesungguhnya kontradiktif dengan nilai-nilai ideal yang seharusnya seorang manusia sempurna. Dan nilai-nilai kontradiktif itu dikhawatirkan datang secara besar-besaran dari media kita yang semakin canggih dan tampak menarik untuk dikonsumsi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Ibrahim, Idi Subandy. 2007. Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.

Tim peneliti YPMA. 2011. Konsep dan Implementasi Literasi Media dalam Kumpulan Makalah Workshop Nasional Konsep & Implementasi Media Literacy  di Indonesia. Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI.

Mosco, Vincent. 2009.  The Political Economy of Communication Second Edition. London: Sage Publications.

Perebinossoff , Philippe,  Brian Gross, Lynne S. Gross. 2005.  Programming for TV, Radio & Internet Strategy, Development & Evaluation. Amsterdam: Focal Press.

Wirodono, Sunardian. 2006. Matikan TV-Mu! Teror Media Televisi di Indonesia. Yogyakarta: Resist Book, Cet.2.

Fawaid, Achmad. 2010. Perpustakaan, Budaya Baca, dan Bangsa Bibliofil, Naskah Pemenang Kompetisi Esai Mahasiswa. Tp.

Ambardi, Kuskrido. 2014. Mapping Digital Media. Indonesia: Open Society Foundations.

 

 

Internet:

http://www.kompasiana.com/dimanasnawigmailcom/kesadaran-adalah-kekuatan-besar-dalam-hidup_54ff79baa33311ec4f50ff46  diakses pada tanggal 2 April 2016

http://www.beritasatu.com/budaya/19641-orang-indonesia-4-5-jam-menonton-tv-tiap-hari.html, diakses pada tanggal 2 April 2016.

http://www.nielsen.com/id/en/press-room/2014/nielsen-konsumsi-media-lebih-tinggi-di-luar-jawa.html, diakses pada tanggal 2 April 2016.

 

 

 

 

 

[1] Khomsiyatul Mukarromah, M.A. adalah Staf Pengajar  pada Fakultas Dakwah Institut Dirasat Islamiyah Al-Amien (IDIA) Prenduan Sumenep

[2] Kuskrido Ambardi. Mapping Digital Media, ( Indonesia. Open Society Foundations, 2014)

[3] Diakses dari http://www.nielsen.com/id/en/press-room/2014/nielsen-konsumsi-media-lebih-tinggi-di-luar-jawa.html, pada tanggal 2 April 2016.

[4] Diakses dari http://www.beritasatu.com/budaya/19641-orang-indonesia-4-5-jam-menonton-tv-tiap-hari.html, pada tanggal 2 April 2016.

[5]. Disarikan dari Philippe Perebinossoff, Ph. D., Brian Gross, MFA., Lynne S. Gross, Ed.D. Programming for TV, Radio & Internet Strategy, Development & Evaluation. (Amsterdam: Focal Press, 2005). Hlm. xvii.

[6] Disarikan dari Sunardian Wirodono, Matikan TV-Mu! Teror Media Televisi di Indonesia, (Yogyakarta: Resist Book, cet.2, 2006), Hlm. Vii-viii.

[7] Fuad Hasan dalam St. Sularto, dkk (ed), Bukuku Kakiku, (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. xxv dalam Achmad Fawaid, Perpustakaan, Budaya Baca, dan Bangsa Bibliofil, (Naskah Pemenang Kompetisi Esai Mahasiswa, 2010), Hlm. 19

[8] Vincent Mosco, The Political Economy of Communication Second Edition, (London: Sage Publications, 2009)

[9]W. James Potter dalam ibid. hlm. 9

[10]Ofcom dalam ibid, hlm. 10

[11]Tim peneliti YPMA, Konsep dan Implementasi Literasi Media dalam Kumpulan Makalah Workshop Nasional Konsep & Implementasi Media Literacy  di Indonesia, (Jakarta: departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI, 2011), Hlm. 47

[12]Diakses dari http://www.kompasiana.com/dimanasnawigmailcom/kesadaran-adalah-kekuatan-besar-dalam-hidup_54ff79baa33311ec4f50ff46  pada tanggal 2 April 2016

[13]Ibid. hlm 11

[14]Pungent dalam ibid, hlm 16

[15] Ibid, Hlm. 17

[16]Segala penjelasan dan contoh penyelenggaraan Literasi Media diadopsi dari hasil penelitian Tim Peneliti YPMA. Konsep dan Implementasi Literasi Media dalam Kumpulan Makalah Workshop Nasional Konsep &Implementasi Media Literacy  di Indonesia (Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI, 2011) hlm. 30

[17]Ibid

[18] Akbar S. Ahmed (1993) dalam Idi Subandy Ibrahim., Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007)