(KAJIAN TEMATIS SURAT LUQMAN)

Oleh: Dr. Taufikurrahman, M.Ag[1]

 

  1. Pendahuluan

Al-Qur’an merupakan firman Allah yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya, yang selanjutnya dijadikan pedoman hidup (way of life) kaum muslim. Di dalamnya terkandung ajaran dan nilai-nilai pokok yang harus dijadikan rujukan utama (absolute reference frame) bagi sikap dan prilaku setiap orang yang mengimaninya. Ajaran-ajaran pokok (prinsip dasar) yang menyangkut segala aspek kehidupan manusia ini, selanjutnya dapat dikembangkan sesuai dengan nalar masing-masing bangsa dan kapanpun masanya dan hadir secara fungsional memecahkan problem kemanusiaan.

Salah satu permasalahan yang tidak sepi dari perbincangan umat adalah masalah pendidikan. al-Qur’an sendiri telah memberi isyarat bahwa permasalahan pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting. Jika al-Qur’an dikaji lebih mendalam, maka akan ditemukan beberapa prinsip dasar pendidikan, yang selanjutnya bisa dijadikan inspirasi untuk dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan yang bermutu.  Ada beberapa indikasi yang terdapat dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan antara lain: penghormatan akal manusia, bimbingan ilmiah, fitrah manusia, penggunaan cerita (kisah) untuk tujuan pendidikan dan memelihara keperluan sosial masyarakat.

Salah satu surat yang banyak membicarakan tentang pendidikan adalah surat Luqman. Surat ini turun sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Mayoritas ulama menyatakan bahwa semua ayat-ayatnya adalah makkiyyah. Ada juga yang mengecualikan tiga ayat yaitu ayat 27-29 atau dua ayat yaitu ayat 27-28 sebagai ayat madaniyyah dengan alasan bahwa ayat-ayat tersebut turun berdasarkan diskusi orang-orang Yahudi yang ketika itu banyak bermukim di Madinah. Namun, menurut Quraish Shihab, di samping jalur sanadnya lemah, diskusi seperti itu bisa saja terjadi di Mekkah antara kaum muslimin dan masyarakat Mekkah.[2]

Penamaan surat ini dengan Luqman berkaitan dengan nasehat-nasehat yang disampaikan oleh Luqman yang hanya disampaikan dalam surat ini. Tema utama surat ini adalah ajakan kepada tauhid dan kepercayaan akan kepastian hari kiamat serta pelaksanaan prinsip-prinsip dasar agama.[3] ‘Amru> Kha>lid menyatakan bahwa surat Luqman adalah surat pendidikan karena ayat-ayatnya mengandung konsep pendidikan yang sangat mengagumkan bagi seorang anak dalam upaya mengarungi kehidupan di dunia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan di akhirat.[4] Makalah ini mencoba untuk mengkaji konsep pendidikan unggul dalam al-Qur’an dengan membahas dua hal, yaitu tujuan pendidikan dan kurikulum yang diisyaratkan dalam al-Qur’an surat Luqman berkaitan tentang pendidikan terhadap anak.

 

  1. Tujuan Pendidikan dalam al-Qur’an

Dalam proses pendidikan, tujuan pendidikan merupakan kristalisasi nilai-nilai yang ingin diwujudkan ke dalam pribadi anak didik. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan bersifat komprehensif, mencakup semua aspek dan terintegrasi dalam pola kepribadian yang ideal. Tujuan pendidikan merupakan masalah inti di dalam pendidikan dan saripati dari seluruh renungan paedagogik.[5]

Para pakar pendidikan Islam mempunyai pandangan yang beragam tentang tujuan pendidikan. Naquib al-Attas, misalnya,  menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menjadi manusia yang baik.[6] Pandangan ini didukung oleh Ahmad Tafsir yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menjadi manusia terbaik.[7] Pandangan berbeda dikemukakan oleh Hasan Langgulung, yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah tujuan hidup manusia itu sendiri sebagaimana yang tersirat dalam peran dan kedudukannya sebagai ‘abdullah  dan Khalifatullah.[8]

Penulis sendiri, mempunyai pandangan bahwa tujuan pendidikan dalam al-Qur’an sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah swt dalam Surat Luqman adalah agar untuk menggapai kebahagiaaan dengan menjadi pribadi yang bersyukur. Hal ini bisa ditangkap dari isyarat yang diberikan dalam firman Allah swt:

وَلَقَدْ آَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (لقمان :12)

Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah! Dan Barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

 

Dalam ayat di atas Allah swt menjelaskan bahwa hikmah yang dikaruniakan oleh Allah swt kepada Lukman, yang diharapkan juga menjadi teladan bagi orang lain, adalah menjadi pribadi yang bersyukur kepada Allah swt,  atas  segala karunia-Nya yang telah diberikan kepada manusia dan bahwa siapa yang bersyukur pada hakekatnya bersyukur untuk dirinya sendiri. Begitu pentingnya menjadi pribadi yang bersyukur, sehingga Imam al-Ghazali menempatkan posisi syukur sebagai puncak perjalanan seorang hamba menuju Tuhannya.[9] Ibn Qayyim al-Jawziyyah bahkan sampai menyatakan bahwa syukur dan dzikir merupakan tujuan diciptakannya jin, manusia, langit dan bumi.[10] Isyarat untuk menjadi pribadi yang bersyukur juga dapat dilihat pada ungkapan bahwa yang bisa menangkap tanda-tanda kekuasaan Allah swt adalah hamba yang senantiasa bersabar dan selalu bersyukur (إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُور) dalam ayat ke-31.

Makna syukur yang hakiki menurut al-Razi adalah mengakui segala nikmat yang dikaruniakan oleh Allah swt dan menggunakan sesuai dengan yang dikehendaki dan diridhoi oleh-Nya.[11] Untuk itu, manusia perlu mengenal dengan baik berbagai nikmat dan potensi yang telah diberikan oleh Allah dan bagaimana mengelola serta menggunakan potensi tersebut sesuai yang diinginkan oleh Allah. Ketika seorang hamba semakin mengetahui besarnya karunia Allah swt kepada dirinya, maka semakin bertambah pula pengetahuan dan kecintaannya kepada Allah swt. Pengetahuan dan kecintaan kepada Allah swt inilah, menurut al-Razi, yang merupakan sumber kebahagiaan dan berbagai macam kebaikan.[12]

Mendidik anak untuk menjadi pribadi yang bersyukur dalam pengertian di atas berarti mendidiknya untuk mengenal berbagai nikmat Allah swt, karena seseorang tidak akan bisa benar-benar bersyukur jika ia belum mengenal berbagai nikmat yang telah diterimanya. Pengenalan tentang nikmat Allah swt dimulai dengan pengenalan tentang anak didik tentang manusia itu sendiri, makna keberadaannya di dunia serta posisi dan hubungannya dengan Allah swt sebagai pencipta dirinya dan alam semesta ini, yaitu sebagai ‘abdullah  dan Khalifatullah. Dengan demikian, pendidikan pada dasarnya adalah proses manusia untuk mengenal jati dirinya dan menfungsikan dirinya sesuai dengan jati dirinya yang sebenarnya. Tujuan pendidikan seperti yang penulis kemukakan di atas, dengan demikian, juga telah mencakup apa yang dikemukakan oleh Naquib al-Attas, Ahmad Tafsir dan Hasan Langgulung.Tujuan pendidikan seperti inilah, yang penulis lihat, sudah dicapai dan dicontohkan langsung oleh Rasulullah SAW.[13]

 

  1. Kurikulum Pendidikan dalam al-Qur’an

Untuk mencapai tujuan pendidikan sebagaimana yang dijelaskan di atas, maka harus ditindaklanjuti dengan proses pendidikan yang diharapkan bisa mengarah pada terwujudnya tujuan tersebut. Di dalam QS Luqman ayat 13-19, terdapat nasehat-nasehat yang disampaikan oleh Luqman kepada anak-anaknya, yang bisa dikejawantahkan dalam bentuk kurikulum pendidikan. Kurikulum pendidikan dalam al-Qur’an yang tergambar dalam surat Luqman adalah sebagai berikut:

  1. Pendidikan Tauhid

Hal pertama dan utama yang ditekankan dalam al-Qur’an dalam pendidikan terhadap anak adalah penanaman konsep tauhid. Hal ini bisa dilihat dalam wejangan yang diberikan oleh Lukman terhadap anak-anaknya sebagaimana firman Allah swt:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13)

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (QS Luqman:13)

Penanaman nilai-nilai tauhid sangat ditekankan karena hal tersebut berkaitan dengan keselamatan manusia, baik dalam kehidupan di dunia maupun kehidupan sesudah mati. Nilai tauhid pada hakekatnya juga merupakan fitrah atau jati diri manusia.[14] Karena itulah, pendidikan tauhid menjadi misi paling utama yang ditekankan oleh para Nabi dan Rasul utusan Allah. Hal yang pertama disampaikan oleh semua Nabi dan Rasul adalah agar ummatnya hanya menyembah Allah swt dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan kepada Alllah (أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ). Hal ini bisa dilihat antara lain dalam QS al-Ma’idah (5):117; QS al-Nahl (16):36; QS al-Mukminun (23):32; QS al-Naml (27):45; QS Nuh (71):3.

Nabi Ibrahim as, sebagai contoh, sangat memperhatikan pendidikan tauhid kepada keluarganya. Pendidikan tauhid merupakan sesuatu yang selalu ditanamkan dan sangat ditekankan di tengah-tengah keluarga Nabi Ibrahim as. Perhatian Ibrahim akan pendidikan tauhid dapat dilihat dari doa-doanya yang menggambarkan kekhawatiran akan timbulnya praktek syirik pada anak keturunannya.[15]

Rasa khawatir inilah yang juga mendorong Nabi Ibrahim as memberikan wasiat tauhid kepada anak cucunya, yaitu wasiat agar tetap berada dalam keimanan kepada Allah sampai ajal menghampirinya, bukan wasiat tentang harta, tentang jabatan atau keduniaan lainnya. Hal ini dapat kita lihat dalam al-Qur’an:

4Ӝ»urur !$pkÍ5 ÞO¿Ïdºtö/Î) Ïm‹Ï^t/ Ü>qà)÷ètƒur ¢ÓÍ_t6»tƒ ¨bÎ) ©!$# 4’s”sÜô¹$# ãNä3s9 tûïÏe$!$# Ÿxsù £`è?qßJs? žwÎ) OçFRr&ur tbqßJÎ=ó¡•B  (البقرة : 132)

Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah Telah memilih agama Ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. (QS al-Baqarah :132)

 

Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Nabi  Ya’kub as salah seorang cucu Nabi Ibrahim as. Beliau begitu khawatir jika anak-anaknya keluar dari agama Allah, sehingga di saat ajal hendak menjemputnya, beliau menanyakan kepada anak-anaknya. مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي “Apa yang akan kalian sembah sepeninggalku?”. Ternyata jawaban anak-anaknya sangat melegakan hatinya. Mereka menjawab:

߉ç7÷ètR y7yg»s9Î) tm»s9Î)ur y7ͬ!$t/#uä zO¿Ïdºtö/Î) Ÿ@ŠÏè»yJó™Î)ur t,»ysó™Î)ur $Yg»s9Î) #Y‰Ïnºur ß`øtwUur ¼ã&s! tbqßJÎ=ó¡ãB

“Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan kami Hanya tunduk patuh kepada-Nya”.

 

Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi terakhir juga sangat menekankan pendidikan tauhid di tengah keluarga dan para sahabatnya. Mahmud Yunus dan Zuhairini menyatakan bahwa pendidikan tauhid merupakan pendidikan pertama yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada para sahabat pada periode Mekkah dan terus ditekankan pada periode Madinah.[16]

Praktek pendidikan tauhid, diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan cara yang sangat bijaksana, dengan menuntun akal fikiran untuk mendapatkan dan menerima pengertian tauhid yang diajarkan dan sekaligus memberikan teladan dan contoh pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari secara konkrit. Setelah itu, Rasulullah SAW memerintahkan agar ummatnya mengikuti contoh yang telah diberikannya.[17]

Dalam memberikan pendidikan tauhid, Nabi Muhammad SAW juga mengajak ummatnya untuk membaca, memperhatikan dan memikirkan kekuasaan dan kebesaran Allah dan diri manusia sendiri.[18] Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan tauhid kepada Allah juga berkaitan dengan pengetahuan tentang alam semesta, karena alam semesta merupakan bukti akan kekuasaan dan kemahabesaran Allah. Dengan demikian, pendidikan tauhid juga berkaitan erat dengan pengetahuan tentang makhluk-Nya.

Ayat-ayat al-Qur’an, menurut Al-Ra>zi>, secara garis besar terbagi ke dalam dua bagian yaitu ayat-ayat tentang hukum dan ayat-ayat tentang ketuhanan.[19] Bagian paling pokok dalam pandangan al-Ra>zi> adalah persoalan ketuhanan. Karena itu, ketika membicarakan tentang ancaman terhadap orang-orang kafir, pembicaraannya pasti kembali kepada persoalan ketuhanan. Ketika menyebut bukti-bukti ketuhanan, menurut al-Ra>zi>, biasanya al-Qur’an memulai dengan pembahasan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang ada di alam semesta ini yaitu, pertama tentang benda-benda angkasa, kedua tentang manusia, ketiga tentang binatang, keempat tentang tumbuh-tumbuhan dan kelima tentang laut dan bumi.[20] Dengan demikian, ayat-ayat kawniyyah yang membicarakan tentang alam semesta beserta segala isi yang ada di dalamnya, dalam pandangan al-Ra>zi> adalah ayat yang ditujukan untuk mengungkapkan tentang hikmah dan kekuasaan Allah swt lewat keberadaan alam semesta ini.

Atas dasar pandangan di atas, maka pengetahuan tentang Allah swt, menurut al-Ra>zi>, tidak bisa dipisahkan dengan pengetahuan tentang makhluk-makhluknya, karena keberadaan makhluk-makhluk Allah menunjukkan akan hikmah dan kekuasaan Allah swt. Siapa yang lebih mendalam pengetahuannya terhadap makhluk-makhluk Allah, akan lebih mengetahui kemuliaan dan keagungan Allah. al-Ra>zi> mengungkapkan hal tersebut sebagai berikut:

كل من كان أكثر توغلاً في بحار مخلوقات الله تعالى كان أكثر علماً بجلال الله تعالى وعظمته[21]

Siapa yang lebih mendalam pengetahuannya terhadap makhluk-makhluk Allah akan lebih mengetahui kemuliaan dan keagungan Allah.

 

Pendidikan tauhid yang diisyaratkan dalam surat Luqman juga menggambarkan hal yang senada. Dalam menanamkan nilai-nilai tauhid, al-Qur’an juga mengajak manusia untuk merenungkan berbagai tanda-tanda kekuasaan Allah swt yang ada di alam. Dua ayat sebelum ayat-ayat tentang nasehat Luqman kepada anak-anaknya, dan ayat-ayat sesudahnya, yaitu mulai  ayat ke-20 sampai ayat terakhir, berisi ajakan tauhid dengan memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah swt yang terbentang  di langit dan bumi. Dengan demikian, pendidikan tauhid dalam Islam bukan hanya berisikan pendalaman tentang pengetahuan tentang Allah swt akan tetapi juga mencakup pengkajian ilmu-ilmu tentang alam semesta ini sebagai bukti kekuasaan Allah swt.

 

  1. Pendidikan Ibadah

Pendidikan tauhid kemudian ditindaklanjuti dengan pendidikan ibadah yang kepada Allah swt. Nilai kedua yang ditanamkan dalam kurikulum pendidikan dalam al-Qur’an adalah penanaman kesadaran beribadah. Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah:

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS Luqman:17)

 

Ibadah berasal dari kata ‘abada yang berakar kata dengan huruf-huruf ‘ain, ba’, dan dal. Struktur ini bermakna pokok ‘kelemahan dan kehinaan’ dan ‘kekerasan dan kekasaran’.[22] Dari makna pertama diperoleh kata ‘abd yang bermakna mamluk (yang dimiliki) dan mempunyai bentuk jamak ‘abid dan ‘ibad. Bentuk pertama menunjukkan makna ‘budak-budak’ dan yang kedua untuk makna ‘hamba-hamba Tuhan’. Dari makna terakhir inilah bersumber kata ‘abada-ya’budu-‘ibadatan yang secara leksikal bermakna ‘tunduk merendahkan dan menghinakan diri kepada dan di hadapan Allah’.[23]

Dari kata ‘abada tersebut, Ibn Manz}u>r menyebut ungkapan ‘ubu>di>yah (penghambaan diri) adalah al-khud}u>’ (ketaatan) dan al-tadhallul (kerendahan hati).[24] Sementara al-Ra>ghib, walaupun membedakan antara ‘ubu>di>yah dengan ‘ibadah, namun perbedaan tersebut hanya pada tingkatnya, bukan dasar pengertiannya. Menurutnya, ubudiyah adalah penampakan kerendahan, sedangkan ‘ibadah lebih dalam artinya dari ‘ubudiyah ini, sebab ‘ibadah adalah puncak kerendahan, tidak wajar kecuali hanya kepada siapa yang memiliki puncak anugerah (kepada seseorang), yaitu Allah swt.[25]

Dalam pandangan Ja’far al-Sadiq, yang dikutip oleh Jalaluddin, pengabdian kepada Allah baru dapat terwujud jika memenuhi tiga kriteria; pertama, menyadari sepenuhnya bahwa apa yang dimilikinya, termasuk dirinya sendiri, adalah milik Allah dan berada di bawah kekuasaan-Nya; kedua, menjadikan segala bentuk sikap dan aktivitasnya senantiasa mengarah kepada usaha untuk memenuhi perintah Allah dan menjauhi segala bentuk perbuatan yang dilarang-Nya; ketiga, mengambil keputusan senantiasa mengaitkannya dengan ridha Allah, tempat dia menghambakan dirinya.[26]

Pendidikan ibadah sesungguhnya berkaitan erat dengan pendidikan tauhid. Ibadah diperintahkan kepada manusia sebagai wujud rasa syukur atas  segala karunia yang telah diberikan oleh Allah swt kepadanya, terutama nikmat penciptaan, sehingga dengannya manusia dapat merasakan kehidupan di dunia ini.[27] Penanaman kesadaran beribadah juga berangkat dari kenyataan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah dalam rangka beribadah kepada Allah swt. Hal ini sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur’an:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (الذاريات :56)

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS al-Dhariyat:56)

 

Ayat ini mengindikasikan tentang tujuan penciptaan manusia agar menjadi hamba yang senantiasa beribadah Allah. Indikasi ini dapat dipahami dari klausa kata “ليعبدون”  yang berarti “agar mereka mengabdi kepadaKu”. Klausa tersebut berasal dari kata “يعبدونن” yang  mengandung subyek, kata kerja dan obyek.  Kontraksi terjadi karena kata kerja tersebut didahului oleh partikel ل  yang berfungsi sebagai penghubung dan bermakna “tujuan dan kegunaan”[28]. Secara tersirat, dari ayat di atas dapat dipahami bahwa manusia didesign atau dirancang sebagai makhluk yang mengabdi atau beribadah kepada Allah. Karena manusia dirancang untuk beribadah kepada Allah, maka tentu saja eksistensi atau keberadaan manusia akan tergantung kepada seberapa jauh dia dapat menyesuaikan diri dengan rancangan awal penciptaannya ini.[29]

Pentingnya ibadah kepada Allah swt dapat dilihat dari perhatian yang besar yang ditunjukkan oleh para rasul utusan Allah  swt kepada ibadah. Nabi Ibrahim as, sebagai contoh, selalu berdo’a agar beliau dan anak keturunannya  termasuk golongan orang yang bisa menegakkan ibadah sholat. Sholat sebagai tiang agama menjadi kunci kekuatan dan kesuksesan keluarga Ibrahim. Lihatlah doa-doa Nabi Ibrahim as yang diabadikan oleh Allah swt dalam al-Qur’an yang menggambarkan perhatiannya kepada pendidikan sholat.

!$uZ­/§‘ þ’ÎoTÎ) àMZs3ó™r& `ÏB ÓÉL­ƒÍh‘èŒ >Š#uqÎ/ Ύöxî “ÏŒ ?íö‘y— y‰YÏã y7ÏF÷t/ ÇP§ysßJø9$# $uZ­/u‘ (#qßJ‹É)ã‹Ï9 no4qn=¢Á9$# ö@yèô_$$sù Zoy‰Ï«øùr& šÆÏiB Ĩ$¨Z9$# ü“ÈqöksE öNÍköŽs9Î) Nßgø%ã—ö‘$#ur z`ÏiB ÏNºtyJ¨W9$# óOßg¯=yès9 tbrãä3ô±o„ ÇÌÐÈ

 

Ya Tuhan kami, Sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, agar supaya mereka bersyukur. (QS Ibrahim: 37)

Éb>u‘ ÓÍ_ù=yèô_$# zOŠÉ)ãB Ío4qn=¢Á9$# `ÏBur ÓÉL­ƒÍh‘èŒ 4 $oY­/u‘ ö@¬6s)s?ur Ïä!$tãߊ ÇÍÉÈ

Ya Tuhanku, jadikanlah Aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. (QS Ibrahim:4)

 

Rasulullah SAW sendiri diperintahkan oleh Allah swt untuk membekali diri dengan kekuatan spiritual melalui shalat malam, sebelum memberikan dakwah kepada kaumnya.[30] Karena itulah Rasulullah SAW juga sangat menekankan pentingnya pendidikan ibadah, terutama ibadah sholat, kepada anak, sehingga beliau memerintahkan kepada para orang tua untuk menanamkan kesadaran beribadah ini sejak diri. Dalam satu hadith Rasulullah SAW bersabda:

مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ[31]

Suruhlah anak-anak kamu untuk mendirikan sholat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika belum mau mengerjakan) pada umur sepuluh tahun serta pisahkanlah tempat tidur mereka.

 

Dengan demikian, pendidikan ibadah, terutama ibadah mahdah menempati posisi yang sangat penting dalam kurikulum pendidikan al-Qur’an, karena ibadah pada hakekatnya merupakan pengejawantahan dari tauhid kepada Allah swt dan merupakan jati diri manusia itu sendiri. Kekuatan hubungan dengan Allah swt ini, pada dekade sekarang sering disebut dengan istilah kecerdasan spiritual.

 

  1. Pendidikan Akhlak atau Etika

Pendidikan berikutnya yang ditekankan dalam kurikulum pendidikan al-Qur’an adalah pendidikan akhlak atau etika. Menurut ‘Abd al-Qâdir Ahmad, pesan universal yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an adalah tentang etika (al-akhlâq), bagaimana berakhlak mulia dan bagaimana menjauhi akhlak tercela dengan tolak ukur perintah dan larangan Tuhan.[32] Hal ini sejalan dengan misi diutusnya Rasulullah saw. kepada umat manusia adalah dalam rangka penyempurnaan etika. Nabi Muhammad SAW bersabda:

إنما بعثت لاتمم مكارم الاخلاق

Sesungguhnya aku diutus tiada lain kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (HR Abu Dawud)

 

Menurut Affandi, setidaknya ada dua faktor yang menjadi alasan tingginya apresiasi Islam terhadap etika tersebut. Faktor pertama, etika merupakan suatu pelajaran yang harus dipelajari seorang peserta didik yang pada gilirannya akan mengatur tingkah lakunya dalam kehidupan keseharian. Dengan mempelajari ilmu tentang etika, melalui pelatihan dan pembiasaan, secara umum peserta didik diharapkan untuk memiliki karakter (moral) yang baik.[33]

Dalam konteks tersebut, etika menjadi ‘tubuh pengetahuan’ (body of knowledge) yang didefinisikan Majid Fakhry sebagai gambaran rasional mengenai hakikat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang.[34]

Faktor kedua, etika menjadi signifikan ketika dikaitkan dengan relasi murid dan gurunya sebagai interaksinya dengan lingkungan. Aspek penting dalam metode belajar di antara aspek-aspek lainnya adalah bagaimana menjalin hubungan kebersamaan yang baik antara pihak pendidik dan peserta didik. Membina relasi etis antara guru-murid merupakan hal yang tidak mudah untuk dilakukan dan memerlukan suatu seni (art) yang lahir dari motivasi dan karakter murid. Jika dia gagal memainkan seni ini, maka mungkin sulit baginya untuk berhasil dalam belajar.[35]

Pendidikan etika dalam al-Qur’an dimulai dengan adalah penanaman etika terhadap kedua orang tua. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah swt dalam al-Qur’an.

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14)

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS Luqman:14)

 

Dalam  ayat di atas, Allah swt memerintahkan kepada setiap anak untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya, terutama ibunya. Etika yang ditekankan dalam al-Qur’an kepada kedua orang tua adalah sejalan dengan jasa dan pengorbanan yang telah diberikan oleh keduanya kepada anak-anak mereka. Ibu, misalnya, sebagaimana yang digambarkan dalam ayat di atas, telah mengandung sang anak selama kurang lebih sembilan bulan dalam keadaan yang sangat lemah. Akan tetapi semua itu ia jalani dengan penuh ketabahan karena kecintaan yang besar kepada anaknya.

Jasa dan pengorbanan yang telah diberikan oleh orang tua inilah yang menjadi dasar adanya perlakuan khusus kepada mereka sebagai bentuk penghargaan dan terima kasih atas segala bentuk kebaikan yang telah mereka berikan. Hal ini tersirat klausa kalimat  أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ (bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu).

Akan tetapi kebaktian kepada kedua orang tua tetap harus berada dalam koridor  ketaatan kepada Allah swt. Karena itu, perintah orang tua yang bertentangan dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah, tidak boleh diikuti. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah swt :

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (15)

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS Luqman: 15)

 

Etika berikutnya yang ditanamkan dalam al-Qur’an adalah etika terhadap sesama manusia. Hal ini tergambar dalam QS Luqman: 18-19.

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (18) وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ (19)

  1. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
  2. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.

 

Dalam ayat di atas, manusia diajarkan satu etika dalam bergaul dengan sesama manusia. Contoh etika yang diajarkan adalah sikap menghargai orang lain, larangan bersifat sombong dan kesopanan dalam berbicara. Semua bentuk etika tersebut pada dasarnya sejalan dengan fitrah manusia.  Sebab menurut Quraish Shihab, sejak dilahirkan, manusia sudah memiliki sejumlah potensi pada dirinya. Potensi itu mengacu pada tiga kecenderungan utama yaitu benar, baik dan indah. Artinya, manusia pada dasarnya cenderung senang kepada hal yang benar, baik dan indah.[36]

Etika terhadap manusia, menurut  para ilmuwan muslim, sesungguhnya termasuk bagian ibadah kepada Allah swt, yang disebut ibadah sosial. Etika digolongkan sebagai bagian dari ibadah, karena ketentuan baik dan buruk dalam agama Islam tetap mengacu kepada aturan yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Sementara penisbahan sifat sosial kepada bentuk ibadah ini, karena aspek pengetrapannya yang lebih berkaitan dengan penataan hubungan baik dengan sesama manusia.

Abuddin Nata, mengutip tulisan Jalaluddin Rahmat dalam Islam Alternatif, menyatakan bahwa ibadah sosial menempati posisi yang sangat penting dalam ajaran agama Islam, sebab jika dikaji dan ditelaah, mayoritas teks al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW mengandung ajaran tentang etika pergaulan dengan sesama manusia. Di samping itu, jika dibandingkan dengan ibadah mahdah kepada Allah swt, ibadah sosial dijanjikan pahala yang lebih besar.[37]

 

  1. Pendidikan Mental

Persoalan keempat yang ditekankan dalam kurikulum pendidikan dalam al-Qur’an adalah pendidikan mental melalui penanaman kesadaran akan hakekat dunia. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa hidup adalah perjuangan yang harus dilalui dengan bekal jiwa yang sabar. Hal ini  tersirat dalam firman Allah swt:

وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS Luqman:17)

 

Sebagian orang tua ada yang lebih mementingkan pemenuhan materi kepada anak-anaknya sehingga secara tidak langsung mereka telah mengajarkan pola hidup mewah kepada mereka. Namun, ayat di atas menurut ‘Amru Khalid mengajarkan  bahwa seorang pendidik, termasuk di dalamnya adalah orang tua, hendaknya  mengajarkan kepada anak didiknya  sikap mental yang tangguh dalam dalam menjalani kehidupan.  Sikap mental yang tangguh ditandai dengan keuletan, kegigihan dan kemandirian dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan.[38]

Dalam QS al-Mulk:2 Allah swt juga menjelaskan bahwa kehidupan yang diberikan kepada manusia, pada hakekatnya adalah untuk menguji siapa yang bisa memberikan amal terbaik. Salah satu contoh perwujudan amal terbaik di dalam surat Luqman adalah perintah untuk menegakkan kebaikan dan menjauhi kemungkaran. Upaya untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, tentu juga sangat memerlukan mental yang tangguh yang bisa bertahan dalam menghadapi berbagai cobaan dan rintangan yang akan ditemui dalam perjalanan kehidupannya.

Kemampuan mengelola mental, pada masa sekarang lebih dikenal dengan istilah kecerdasan emosional. Penelitian dari banyak neurolog dan psikolog menunjukkan bahwa kecerdasan emosional (EQ) sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual. Kecerdasan emosional (EQ) memberikan kesadaran tentang perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain. Kecerdasan emosional (EQ) mengajarkan tentang rasa empati, cinta, motivasi dan kemampuan untuk menanggapi kesedihan dan kegembiraan dengan tepat. Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Keterampilan-keterampilan seperti ini dapat diajarkan kepada anak-anak sejak dini, untuk memberi mereka peluang yang lebih baik dalam memanfaatkan potensi yang ada dalam diri mereka. [39]

 

  1. Pendidikan Tentang Manajemen Hidup

Persoalan berikutnya yang ditekankan dalam pendidikan terhadap anak adalah pentingnya membuat menajemen dalam kehidupan. Dengan konsep ini, setiap anak diajari tentang pentingnya perencanaan tentang masa depan sehingga diharapkan. Pentingnya manajemen dalam kehidupan digambarkan dalam firman Allah swt.

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ

Dan sederhanalah kamu dalam berjalan (QS Luqman: 19)

Penggalan ayat ini menurut ‘Amru> Kha>lid mengandung makna agar setiap muslim selalu berhati-hati dalam menjalani langkah-langkah kehidupannya. Setiap langkah dalam kehidupan seorang muslim hendaknya didasari atas satu tujuan tertentu sehingga dengan demikian semua langkahnya merupakan langkah yang terencana dalam rangka mencapai satu tujuan tertentu.[40] Tujuan hidup seorang muslim yang diisyaratkan dalam surat Luqman adalah menggapai kebahagian dengan menjadi pribadi yang bersyukur. Dengan demikian, kurikulum pendidikan dalam al-Qur’an, mengajarkan kepada setiap anak agar mengatur dan memenej kehidupannya dengan sebaik mungkin untuk menuju kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.

Dalam al-Qur’an surat al-Hasyr: 18 Allah swt juga menekankan pentingnya perencanaan dan evaluasi dalam menata langkah-langkah kehidupan. Allah swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (18)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS al-Hasyr:18)

 

Kaitannya dengan pendidikan dapat dimaknai bahwa pendidikan adalah proses yang bertujuan. Pendidikan merupakan upaya belajar dengan bantuan orang lain untuk mencapai tujuan. Tujuan tersebut dinyatakan dalam rumusan tingkah laku yang diharapkan  dimiliki oleh anak didik setelah menyelesaikan pengalaman belajarnya. Tujuan sangat penting, karena ia berfungsi dalam mengakhiri setiap kegiatan, mengarahkan segala aktivitas pendidikan, pijakan untuk meraih tujuan- tujuan lanjuta, tolak ukur keberhasilan  kegiatan pendidikan dan memberi nilai kepada semua kegiatan tersebut. Hasil dari penilaian dinyatakan dalam bentuk belajar.[41]

Dalam praktek nyata, Rasulullah SAW  juga sering memberikan petunjuk tentang langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh para sahabat baik dalam bentuk petunjuk khusus ketika hendak melaksanakan sebuah tugas ataupun petunjuk umum dalam  menapaki  perjalanan kehidupan. Beliau juga sering mengevaluasi para sahabatnya. Misalnya Rasulullah SAW sering menyuruh para sahabat untuk membacakan al-Qur’an di hadapannya dan membetulkan jika ada kekeliruan dalam bacaan mereka.[42]

Pendidikan tentang manajemen hidup juga berkaitan erat dengan kecakapan dan ketrampilan yang perlu dimiliki oleh anak didik agar dia bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Dalam istilah pendidikan sekarang, berbagai jenis kecakapan tersebut dikenal dengan istilah life skills  atau kecakapan hidup sebagai sebuah kecakapan yang disiapkan untuk anak didik agar mereka bisa memberikan kontribusi terbaik dalam kehidupannya. Rasulullah SAW juga telah memberikan isyarat untuk membekali anak dengan berbagai ketrampilan yang diharapkan dapat berguna bagi kehidupan mereka di masa mendatang. [43] Dengan demikian pendidikan tentang manajemen kehidupan mempunyai makna yang luas tentang berbagai jenis kompetensi dan kecakapan yang perlu dimiliki manusia dalam upaya mencapai tujuan dan cita-cita dalam hidupnya.

Lima aspek pendidikan yang ditekankan dalam kurikulum pendidikan dalam al-Qur’an ini, jika diperhatikan ternyata mencakup semua jenis kecerdasan manusia. Dalam pendidikan tauhid terkandung pengembangan kecerdasan spiritual dan kecerdasan kognitif-rasional dengan mengembangkan potensi akal untuk merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam. Pendidikan ibadah sangat menekankan pada kecerdasan spiritual, walaupun tidak melupakan kecerdasan kognitif rasional. Pendidikan etika dan pendidikan mental lebih menekankan pada pengembangan kecerdasan emosional, walaupun juga tidak melupakan aspek kecerdasan lainnya. Sedangkan pendidikan manajemen hidup lebih banyak menekankan pada pengembangan kecerdasan kognitif-rasional. Hal ini memberikan isyarat bahwa pendidikan terhadap manusia adalah pendidikan yang integral, mencakup seluruh aspek yang dimiliki manusia, sehingga dengan demikian manusia dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya dalam rangka  menggapai kebahagiaan hidupnya.

  1. Penutup

Pendidikan unggul dalam al-Qur’an pada dasarnya mengarahkan manusia untuk mengenal jati dirinya dan menfungsikan dirinya sesuai dengan jati dirinya yang sebenarnya. Konsep pendidikan unggul ini dirumuskan dalam bentuk kurikulum integral yang bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi kecerdasan manusia, yaitu kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional dan kecerdasan kognitif-rasional. Kurikulum tersebut menekankan pada lima persoalan penting dalam kehidupan manusia yaitu pendidikan tauhid, pendidikan ibadah, pendidikan etika atau akhlak, pendidikan mental dan pendidikan tentang manajemen kehidupan. Dengan demikian, diharapkan manusia dapat mengembangkan dirinya secara optimal dalam rangka  menggapai kebahagiaan hidupnya baik di dunia maupun akhirat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Affandi, Mochtar. The Method of Muslim Learning as Illustrated in az-Zarnu>jî’s Ta’li>m al-Muta’allim Tharîq at-Ta’allum. Montreal: McGill University, 1993.

 

Ah}mad, Muh}ammad ‘Abd al-Qa>dir. T{uruq Ta’li>m al-Tarbiyah al-Isla>miyyah. Mesir: Maktabat al-Nahd}ah al-Mis}riyyah, 1981.

 

Asfaha>ni>, Al-Raghi>b (al). Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n. Beirut : Da>r al-Shami>yah, 1992.

 

Bukha>ri>, Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad b. Isma>’i>l (al). al-Ja>mi‘ al-S{ah}i>h} Juz I. Kairo: al-Mat}ba‘ah al-Salafiyyah, 1400H.

 

Da>wu>d, Abu>. Sunan Abi> Da>wu>d  Juz II.  CD Maktabah Sha>milah Ver. 2.

 

Elzaky, Jamal. Buku Pintar Mukjizat Kesehatan Ibadah  ter. Dedi Slamet Riadi. Jakarta:Zaman, 2015

 

Fa>ris, Abu> al-H{usayn Ah}mad ibn. Mu’jam Maqa>yis al-Lughah Juz IV. Beirut : Da>r al-Fikr, t. t.

 

Fa>yu>mi>, Ahmad ibn Muh}ammad ibn ‘Ali> al-Muqri> (al).  al-Mis}ba>h} al-Muni>r fi> Ghari>b al-Sharh} al-Kabi>r li al-Ra>fi’i>, Juz II. Beirut : Da>r al-Ji>l, 1987.

 

Fakhry, Majid. Ethical Theories in Islam. Leiden: E.J. Brill, 1991.

 

Ghaza>li>, Abu> H{a>mid (al). Minha>j al-‘A>bidi>n. Surabaya: Shirkah Bungkul Indah, t.th.

 

Gunawan, Heri. Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014.

 

Jalaluddin. Teologi Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001.

 

Jawziyyah, Ibn Qayyim (al). al-Fawa>id. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007.

Kha>lid,  ‘Amru>. Khawa>t}ir Qur’a>niyyah:Naz}ara>t fi> Ahda>f Suwar al-Qur’a>n. Mekah:Ari>j, 2004.

 

Langgulung,  Hasan. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986.

 

Manz}u>r, Abu> al-Fadl Jama>l al-Din Muh}ammad ibn Mukarram ibn. Lisa>n al-‘Arab, Juz. IV. Mesir : Nu>r al-Thaqa>fah al-Islamiyyah, t.t.

 

Maragustam.  “Pemikiran al-Zarnuji dalam Ta’lim  Muta’allim  Tentang Pemikiran Pendidikan Islam” dalam Pendidikan Islam di Indonesia Ed.  M. Fatih Suyadilaga dan Fahruddin Faiz. Yogyakarta: Suka Press, 2007.

 

Muslim, Abu> al-H{usayn.  S{ah}i>h} Muslim Juz II. Riyad}: Da>r T{ayyibah, 2006.

Nata,  Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998.

 

Nu’aym, Abu>. Ma’rifat al-S{ah}a>bah Juz IV. CD Maktabah Sha>milah Ver. 2.

 

Qut}b, Sayyid. Fi Z{ila>l al-Qur’a>n Juz 31. t.tp.:Minbar al-Tawh}i>d wa al-Jiha>d, t.th.

 

Ra>zi>, Fakhr al-Di>n (al). Mafa>ti>h} al-Ghayb. Beirut:Da>r al-Fikr, 1981.

 

Shihab,  M. Quraish. Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1998.

 

__________. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Vol. 11. Jakarta:Lentera hati, 2006.

 

Tafsir, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014.

 

Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta:Hidakarya Agung, 1990.

 

Zarkashi>, Badr al Di>n (al). al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n Vol. IV. Mesir: Da>r Ihya>’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th.

 

Zohar, Danah. dan Marshall,  Ian. SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan ter.  Rahmani Astuti dkk. Bandung: Mizan, 2002.

 

Zuhairini dkk., Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta:Bumi Aksara, 2008.

 

 

 

 

[1] Penulis adalah Penyuluh Agama Islam pada Kantor Kemenag Kab. Sumenep  dan Dosen IDIA Prenduan Sumenep.

[2] M. Quraish Shihab,  Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Vol. 11 (Jakarta:Lentera hati, 2006), 107.

[3] Ibid., 108; Lihat juga  Sayyid Qut}b, Fi Z{ila>l al-Qur’a>n Juz 31 (t.tp.:Minbar al-Tawh}i>d wa al-Jiha>d, t.th.), 3.

[4] Lihat ‘Amru> Kha>lid,  Khawa>t}ir Qur’a>niyyah:Naz}ara>t fi> Ahda>f Suwar al-Qur’a>n (Mekah:Ari>j, 2004), 309.

[5] Heri Gunawan, Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), 10.

[6] Ibid.

[7] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014),76.

[8][8] Hasan Langgulung,  Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986), 33.

[9] Abu> H{a>mid al-Ghaza>li>, Minha>j al-‘A>bidi>n (Surabaya: Shirkah Bungkul Indah, t.th.),5.

[10] Lihat Ibn Qayyim al-Jawziyyah, al-Fawa>id (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007), 144.

[11] Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>ti>h} al-Ghayb, Juz XIX (Beirut:Da>r al-Fikr, 1981),87;

[12] Ibid.

[13] Lihatlah misalnya ungkapan Rasulullah SAW ketika beliau ditanya kenapa tetap tekun beribadah padahal sudah diberikan jaminan ampunan oleh Allah swt, beliau menjawab أَفَلَا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا. Lihat Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad  b. Isma>’i>l al-Bukha>ri>, al-Ja>mi‘ al-S{ah}i>h} Juz I (Kairo: al-Mat}ba‘ah al-Salafiyyah, 1400H), 352. Lihat juga Abu> al-H{usayn Muslim, S{ah}i>h} Muslim Juz II (Riyad}: Da>r T{ayyibah, 2006), 1297.

[14] Lihat QS al-A’raf (7):172

[15] Lihat QS Ibrahim (14): 35-36

[16] Lihat Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta:Hidakarya Agung, 1990), 9-12; Lihat Juga Zuhairini dkk., Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta:Bumi Aksara, 2008), 23.

[17] Ibid., 26.

[18] Ibid.

[19] Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>ti>h} al-Ghayb Juz II, 96.

[20] Ibid., Juz XX, 65.

[21] Ibid., Juz IV, 199.

[22]Untuk makna kedua (kekerasan dan kekasaran), Ibn Faris menukilkan bahwa kata al-‘a>bidi>n dalam Q. S. al-Zukhruf (43):81, berarti ‘orang-orang yang marah’, karena kata itu berasal dari kata ‘abida-ya’badu-‘abadan, lihat Abu> al-H{usayn Ah}mad ibn Fa>ris, Mu’jam Maqa>yis al-Lughah, Juz IV, (Beirut : Da>r al-Fikr, t. t),  205.

[23]Lihat Ahmad ibn Muh}ammad ibn ‘Ali> al-Muqri> al-Fayumi>, al-Mis}ba>h} al-Muni>r fi> Ghari>b al-Sharh} al-Kabi>r li al-Ra>fi’i>, Juz II   (Beirut : Da>r al-Ji>l, 1987), 36.

[24]Lihat Abu> al-Fadl Jama>l al-Din Muh}ammad ibn Mukarram ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, Juz. IV (Mesir : Nu>r al-Thaqa>fah al-Islamiyyah, t.t.),  2774.

[25]Al-Raghi>b al-Asfaha>ni>, Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n, (Beirut : Da>r al-Shami>yah, 1992),  319.

[26]Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), h. 29.

[27] Lihat QS Luqman (31):25

[28] Ada perbedaan tentang makna partikel “lam” . Ulama Basrah menyatakan bahwa makna partikel “lam sebagai ta’li>l (yang menjadi sebab atau lantaran) sedangkan ulama Kufah menyatakan bahwa maknanya adalah s}ayru>rah (menjadi). Lihat  Badr al Di>n al Zarkashi>, al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n Vol. IV, (Mesir: Da>r Ihya>’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th.), 346.

[29] Jamal Elzaky menguraikan secara panjang lebar tentang faedah dan kegunaan ibadah yang diperintahkan oleh Allah swt terhadap kesehatan manusia. Lihat Jamal Elzaky, Buku Pintar Mukjizat Kesehatan Ibadah  ter. Dedi Slamet Riadi (Jakarta:Zaman, 2015)

[30] Lihat QS al-Muzzammil (73):1-9.

[31] Abu> Dawud, Sunan Abi> Dawud  Juz II (CD Maktabah Sha>milah Ver. 2), 88.

[32]Muh}ammad ‘Abd al-Qa>dir Ah}mad, T{uruq Ta’li>m al-Tarbiyah al-Isla>miyyah, (Mesir: Maktabat al-Nahd}ah al-Mis}riyyah), 1981),  187.

[33]Mochtar Affandi, The Method of Muslim Learning as Illustrated in az-Zarnu>jî’s Ta’li>m al-Muta’allim Thari>q at-Ta’allum, (Montreal: McGill University, 1993), 57.

[34] Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1991), 1.

[35]Mochtar Affandi, The Method, 57.

[36] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1998), 277-295.

[37] Abuddin Nata,  Metodologi Studi Islam  (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), 40-41.

[38] ‘Amru> Kha>lid, Khawa>t}ir Qur’a>niyyah, 311.

[39] Danah Zohar dan Ian Marshall,  SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan ter.  Rahmani Astuti dkk. (Bandung: Mizan, 2002), 1.

[40] ‘Amru Khalid, Khawa>t}ir Qur’a>niyyah, 311.

[41] Maragustam,  “Pemikiran al-Zarnuji dalam Ta’lim  Muta’allim  Tentang Pemikiran Pendidikan Islam” dalam Pendidikan Islam di Indonesia Ed.  M. Fatih Suyadilaga dan Fahruddin Faiz (Yogyakarta: Suka Press, 2007), 48-49.

[42] Zuhairini,  Sejarah Pendidikan Islam,30

[43] Lihat misalnya sabda Rasulullah SAW : علموا أبناءكم السباحة والرماية ، ونعم لهو المؤمنة في بيتها المغزل (Ajarilah anak-anakmu ketrampilan berenang dan melempar (panah atau tombak), dan sebaik-baik mainan bagi seorang mukminah adalah menenun). Lihat Abu> Nu’aym, Ma’rifat al-S{ah}a>bah Juz IV (CD Maktabah Sha>milah Ver. 2), 111.