Penulis - Muhtadi

Kegiatan menulis mungkin belum dilihat sebagai salah satu faktor penting bagi kesehatan. Apalagi, kegiatan menulis cenderung dilakukan dengan cara yang tidak sehat. Terlalu lama berada di tempat duduk, misalnya. Belum lagi jika ditambah dengan cemilan yang tidak sehat. Bagaimana mungkin menulis dijadikan sebagai salah satu kegiatan untuk sehat? Sekilas agak sulit dibuktikan bahwa kegiatan menulis bisa membantu seseorang menjadi lebih sehat. Jika kita cari berita, atau data tentang profesi yang mendukung kebugaran tubuh atau kesehatan manusia, belum ditemukan profesi penulis menjadi salah satunya.

Kesehatan manusia biasanya dikaitkan dengan pola hidup yang terdiri dari sikap, aktivitas, diet, olah raga, dan kegiatan yang mendukung gerak fisik. Pengetahuan tentang kesehatan fisik yang menunjang kesehatan psikis (jiwa) telah dikenal luas. Kita mengenal ungkapan “Mens sana in corpore Sano“, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Dalam sejarahnya, ungkapan tersebut dituliskan oleh pujangga Romawi, Decimus Iunius Juvanelis, di awal abad ke-2 Masehi sebagai sindiran tehadap masyarakat Roma di masa itu. Peribahasa ini lebih mengutamakan pengaruh tubuh terhadap jiwa, atau pengaruh kesehatan fisik terhadap kesehatan pikiran. Ungkapan tersebut dipopulerkan oleh John Hulley sebagai semboyan klub Atletik Liverpool tentang pentingnya kebugaran jasmani bagi terwujudnya mental yang kuat.

Secara sederhana, kita tahu bahwa kesehatan jasmani memiliki dampak positif bagi kesehatan Ruhani. Banyak contoh dalam pengalaman hidup kita tentang hal ini. Hidung mampet sebelah saja sudah cukup mempengaruhi semangat beraktivitas di hari itu.

Tapi, meskipun pengaruh fisik terhadap mental itu cukup besar, bukan berarti hanya fisik yang mempengaruhi jiwa (atau pikiran) manusia. Ada banyak bukti bahwa pikiran juga memiliki dampak terhadap kesehatan fisik. Ungkapan terkenal yang sering dikutip terhadap pengetahuan tersebut adalah “you are what you think“. Pikiran kita berdampak terhadap realitas fisik sebagaimana apa yang dipikirkan. Secara ilmiah hal ini diungkapkan oleh seorang psikolog Robert Rosenthal (1968) melalui teori “self-fulfilling prophecy” bahwa ekspektasi yang tinggi terhadap sesuatu dapat meningkatkan performa sesuatu tersebut dalam kenyataannya. Hal ini disebut juga dengan “pygmalion effect”. Dalam bahasa agama kita mengenalnya dengan ungkapan “al-kalaam min ad-du’a” bahwa kata-kata yang diucapkan oleh seseorang menjadi bagian dari doa yang bisa jadi terwujud dalam kenyataan.

Dari uraian di atas, kita bisa pahami bahwa pikiran dan tubuh saling mempengaruhi satu sama lain. Ada hubungan timbal balik. Sehingga pada satu titik, pikiran yang sehat juga dilihat sebagai faktor penting untuk kesehatan fisik. Aktivitas menulis mungkin tidak berkontribusi secara langsung pada kesehatan fisik, tapi kegiatan menulis bisa menjadi satu rutinitas yang menyehatkan pikiran. Lalu, efeknya bisa dirasakan selanjutnya bagi kesehatan lainnya. Dengan kata lain, kita bisa menjadikan kegiatan menulis sebagai menu wajib harian untuk mendukung kesehatan pikiran dan kesehatan fisik.

Masalahnya masih saja ada anggapan umum bahwa menulis itu tidak mudah. Orang banyak memilih kegiatan berolah raga atau melakukan kegiatan fisik lainnya dari pada olah pikiran. Ini bisa dimaklumi karena kegiatan menulis itu gampang-gampang susah. Dibilang gampang, karena tidak ada bakat khusus dan tidak butuh persyaratan rumit untuk menjadi penulis. Beda dengan kegiatan atau profesi lain yang memerlukan modal awal atau bakat khusus. Kegiatan menulis hanya butuh kemauan, pikiran (ide) dan waktu. Saat kemauan itu ada seiring dengan ide dan waktu yang dimungkinkan, terwujudlah tulisan itu. Gampang kan!?

Dibilang susah, mungkin karena kegiatan menulis memerlukan fokus dan butuh kontinuitas yang tidak boleh terhenti. Keahlian menulis lebih kuat dibentuk melalui kebiasaan dan peningkatan wawasan yang diperoleh dari aktivitas membaca. Sekali waktu atau dalam periode tertentu aktivitas menulis dan membaca terhenti, maka untuk mengembalikan kelancaran dan kenyamanan dalam menulis akan menyita banyak waktu dan pikiran. Di sinilah tantangan berat yang harus ditaklukan oleh penulis.

Seringkali, saat ada hal-hal yang ingin diungkap dalam tulisan terkait dengan ide, perasaan, pendapat, pengalaman, atau ekspresi lainnya, tapi tangan dan pikiran rasanya tersendat-sendat untuk memulai satu kalimat. Ya! Menulis satu kalimat saja terasa sulit minta ampun. Belum selesai menulis satu kalimat, ada saja yang membuatnya harus dihapus dan memulai kalimat baru lainnya, yang juga tidak terasa pas. Ada saja yang kurang. Entah itu belum mewakili pikiran, atau diksi yang digunakan terasa klise, dan hambar. Atau sebab-sebab lain yang menjadikan kalimat atau tulisan itu tidak pernah tuntas. Itulah mengapa aktivitas menulis tidak boleh terhenti. Walau hanya sesaat.

Menulis memang butuh pembiasaan, karena memang jika tidak dibiasakan, justru yang muncul adalah kebiasaan lain yang mungkin tidak baik. Seperti: kebiasaan tidur di saat tubuh tidak membutuhkan istirahat. Atau, kebiasaan lain yang juga tidak lebih baik. Itulah mengapa, aktivitas menulis termasuk dalam bagian kegiatan membiasakan yang baik. Mengapa menulis adalah kebiasaan yang baik? Tentu saja, banyak manfaat yang bisa didapat dalam kegiatan menulis. Bahkan banyak sekali!

Hal-hal penting bisa terekam dengan baik, jika dituliskan. Pikiran manusia yang sehat itu selalu memiliki hal-hal penting yang dipikirkan untuk kehidupannya. Hal-hal penting itu bisa menyangkut banyak hal. Tergantung tiap-tiap individu dalam menentukan apa saja yang penting dalam hidupnya. Baik itu terkait dengan cita-cita, cinta, harapan, keluarga, pekerjaan, rekan, pengetahuan dan lainnya. Dalam sehari, tentu banyak hal penting yang sempat terpikir di sela-sela rutinitas harian kita. Jika itu tidak dituliskan sekarang, maka esok hari kemungkinan sudah hilang, dan sulit untuk kembali terulang. Padahal itu adalah hal penting yang bisa menjadi solusi bagi permasalahan yang sedang dihadapi.

Mungkin ada orang yang merasa bahwa di dalam dirinya tidak ada hal-hal baik yang bisa dituliskan. Saat itu yang ada dalam pikiran adalah hal-hal yang buruk dan kotor, sehingga jika itu dituliskan justru akan membuat aktivitas menulis seperti mengecat dinding dengan kotoran-kotoran yang menjijikkan. Kalau begitu, analoginya harus dirubah. Menulis sesuatu yang buruk dan kotor ketika dituliskan dengan cara-cara yang baik, tentu amat bermanfaat bagi kesehatan pikiran penulisnya. Hasil tulisan yang mungkin negatif itu tidak perlu dipublikasikan. Ini seperti halnya aktivitas harian manusia saat buang air kecil atau buang air besar. Tentu jika buang kotoran itu dilakukan di sembarang tempat, akan menjadikan tindakan itu sebagai hal yang jorok dan menjijikkan. Tapi, jika dilakukan dengan cara yang benar, menurut tuntunan agama, adat, dan kesehatan, tentu baik, bukan? Justru dengan menuliskan hal-hal buruk itu dengan cara yang baik dan tepat akan membuat si penulis merenungkan ulang tentang kualitas dirinya. Ada sesuatu yang perlu segera diperbaiki. Ini pun penting dan baik!

Kebiasaan menulis sudah menjadi ciri para ulama klasik hingga kontemporer, termasuk para ulama nusantara. Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam karyanya Adabul Alim Wal Muta’allim menjelaskan, “Adab yang kedua puluh bagi guru adalah sibuk menulis jika punya keahlian, karena menulis akan mematangkan substansi cabang keilmuan secara mendalam karena menulis membutuhkan penelitian, kajian, dan refleksi. Menulis, seperti penjelasan Imam Khathib Baghdad mampu menguatkan hafalan, mencerdaskan hati, menajamkan akal, memperindah penjelasan, memperoleh kebaikan dan pahala yang besar, serta menjadi abadi sampai akhir masa”.

Berbagai dampak positif kebiasaan menulis sebagaimana disebut di atas akan berpengaruh pada kesehatan fisik dan mental. Bahkan, tulisan kita yang bermanfaat bisa menjadi ilmu yang mendatangkan pahala. Dengan membiasakan kegiatan menulis setiap harinya, kita bisa merasakan dua manfaat sekaligus, yaitu: kesehatan pikiran dan pahala menebar kebaikan.

Dari sinilah kita bisa memahami berbagai cerita tentang produktifitas menulis para ulama. Jalaluddin as-Suyuthi (911 H) dengan 600 karyanya, Syekh Nawawi al-Bantani (1314 H) dengan sekitar 115 karya tulisnya, dan Yusuf al-Qardhawi dengan 120 karyanya. Bahkan Ibnu Jarir Ath-Thabari (310 H) salah satu ulama klasik yang cukup dikenal karena karya tafsir dan sejarah, beliau diperkirakan mampu menulis 14 hingga 40 halaman setiap harinya. Saya jadi penasaran, apa mungkin kebiasaan menulis para ulama tersebut ada kaitannya dengan usia mereka (selain imam as-Suyuthi) yang rata-rata lebih dari 80 tahun?