Oleh: Achmad Faesol, M.Si[1]

Abstrak:

Insan kamil merupakan suatu racikan pemikiran terkait hakekat kemanusiaan. Kata ini bukan sekedar identitas sosial keagamaan tapi merupakan suatu penerjemahan konsep kemahlukan. Selama ini ada keyakinan umum bahwa konsep insan kamil bisa dibentuk melalui jalur ilmu pengetahuan. Padahal, pada tataran realitas empiris, wadah pengembangan ilmu pengetahuan –perguruan tinggi- telah terjebak pada suatu tatanan kapitalisme sosial dimana industri adalah titik pusatnya. Akibatnya, perguruan tinggi lebih berfungsi sebagai “perusahaan” penyalur tenaga kerja dari pada berperan sebagai institusi pengembangan kodrat kemanusiaan. Adapun ilmu pengetahuan menjelma sebagai elemen vital pembentuk keahlian profesi. Dengan kata lain, perguruan tinggi berlomba-lomba “melihat” manusia hanya dari aspek kemanfaatan ekonomisnya an sich. Karena itu, wajar bila kemudian pengembangan keilmuan di perguruan tinggi lebih berfokus pada penyiapan mahasiswa untuk menjadi tenaga kerja yang siap pakai di dunia industri ketimbang menyiapkan mahasiswa siap hidup sebagai manusia. Pada titik inilah proses dehumanisasi terjadi. Melihat kenyataan demikian, IDIA Prenduan sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi mencoba melakukan ikhtiar akademis untuk lebih “khusuk” mendidik mahasiswa ke arah pembentukan insan kamil dengan tanpa melupakan persyaratan keahlian yang dibutuhkan oleh dunia industri. Ikhtiar akademis ini berwujud suatu program pendidikan unggulan bernama program mahasiswa intensif. Suatu sistem pendidikan yang berlangsung dua puluh empat jam penuh selama lima tahun dengan orientasi pada terciptanya manusia yang berilmu luas, beriman sempurna dan beramal sejati.

Kata Kunci:

Insan Kamil, Industri Pendidikan dan Mahasiswa Intensif

 

 

Abstract:

Insan Kamil is a formula of thought related by human nature. This word is not only social and religious identity, but it is a translation of creation concept. So far there is a common belief that the concept of Insan Kamil can be formed via knowledge. Whereas, at the level of empirical reality, the container of knowledge development –university- has been stuck on an order of social capitalism where the industry is as its center. Consequently, the university is more function as manpower supplier “company” than acts as a development institution of human nature. While the knowledge incarnates as vital element framer professional expertise. In other words, the university competes “to see” humans only from the aspect of economic benefit an sich. Therefore, reasonable when the scientific development in university is only focuses on preparing the students of university to be labor ready to use in the industrial world than preparing them to be ready to live as a human. At this point, the process of dehumanization occurs. Look at this fact, IDIA Prenduan as one of the institutions of college tries to do the academic efforts to be more concentration educating the students of university towards formation of Insan Kamil without forgetting the requirements of skills required by the industrial world. The academic efforts manifest in a Superior Educational Program called by Intensive Student Program. It is an education system that lasts 24 hours a day for 5 years with an orientation to the creation of human which Extensive Knowledge, Perfect Faith and True Charity.

Key World:

Insan Kamil, Education Industry and Intensive Student Program

  1. Batasan Istilah Insan Kamil

Insan kamil atau yang dalam Bahasa Indonesia lebih sering dimaknai sebagai manusia yang sempurna merupakan suatu konsep yang lekat dengan dunia tasawuf. Banyak tokoh yang menyepakati kalau insan kamil lebih tepat disematkan pada Nabi Muhammad. Hal ini cukup beralasan karena satu-satunya manusia yang benar-benar pantas disebut sebagai manusia sempurna adalah Nabi Muhammad. Hal senada juga dipertegas oleh Syekh Abdul Karim dan Ibnu Ibrahim Al Jaili yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah hakekat insan kamil yang sebenarnya[2].

Jika dilihat dari aspek fisik biologis, maka insan kamil pada dasarnya tidaklah jauh berbeda dengan manusia lain pada umumnya. Namun bila segi mental spiritual yang dijadikan titik pijakan analisa maka insan kamil nampak memiliki kualitas yang lebih tinggi[3].

Adapun Ibnu Arabi memaknai insan kamil sebagai manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya karena ia merupakan manifestasi dari kesempurnaan dari citra Tuhan yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara utuh. Sedangkan dari segi pengetahuan karena ia telah sampai pada tingkat kesadaran tertinggi yakni menyadari kesatuan esensinya dengan Tuhan[4].

Demi kepentingan kesamaan pemahaman maka dalam makalah ini penulis membatasi definisi dan konsep insan kamil sebagai man arofa nafsahu faqod arofa robbahu[5]. Pemilihan ini memiliki sandaran filosofis teologis yang erat kaitannya dengan hakekat dan proses pendidikan[6].

  1. Industri Pendidikan dan Krisis Kemanusiaan

Tidak dapat dipungkiri bahwasanya tujuan akhir dari sebuah proses pendidikan adalah tersedianya sumber daya manusia (SDM) unggulan. Ini disebabkan karena keberhasilan suatu bangsa sangat erat kaitannya dengan keunggulan sumber daya manusianya. Pengalaman di negara-negara maju menunjukkan bahwa kualitas SDM yang dimiliki memungkinkan mereka untuk mampu secara efisien menerapkan dan mengendalikan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan produktifitas tinggi[7].

Istilah sumber daya manusia telah menjadi “kata pengantar” yang senantiasa hidup dalam ruang interaksi sosial kemasyarakatan. Padahal, menurut Emha Ainun Nadjib, istilah SDM (sumber daya manusia) yang dimaksud selama ini sesungguhnya adalah SDIM (Sumber Daya Industrial -pada- Manusia). Term SDM lahir dari wilayah dan keperluan industri. Industrialisasi yang kemudian menjadi ideologi industrialisme lahir dari suatu visi pandangan dominan mengenai perkembangan dan kemajuan hidup. Karena itu maka tekanan makna sumber daya manusia adalah daya manajerial dan profesionalisme (software) serta keterampilan kerja (hardware). Maka pada dasarnya konsep sumber daya manusia mengaksentuasikan diri pada kesanggupan untuk produktif[8].

Produktifitas sumber daya manusia adalah bahan bakar utama dalam proses pembangunan. Sedangkan pembangunan merupakan simbol kongkrit dari proses industrialisasi. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang diarahkan menuju identitas negara maju memilih kebijakan industrialisasi sebagai konsep dasar pembangunannya. Konsekuensinya adalah suatu proses transformasi dari masyarakat yang berorientasi kebudayaan agraris ke masyarakat yang berorientasi kebudayaan industri, demikian menurut Koentjaraningrat[9].

Sedangkan menurut Iswandi, industrialisasi sebenarnya berwajah ganda. Pada satu sisi, kehadiran industri menawarkan kemudahan untuk memberikan pelayanan sosial, namun pada sisi lain, kehadiran industri bagai mesin yang siap melakukan dehumanisasi[10]. Proses dehumanisasi yang berkepanjangan pada akhirnya akan menciptakan manusia-manusia yang tidak tahu siapa dirinya dalam konteks filosofis teologis. Manusia hanya tahu kerja, kerja dan kerja. Pada titik kritis inilah diperlukan proses humanisasi. Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia setelah mengalami dehumanisasi[11].

Di era industrialisasi, kerja manusia sudah diwakilkan oleh mesin. Manusia menjadi tidak memiliki arti dan status sosial kehidupan sebab martabatnya sudah diambil oleh mesin industri. Eric Fromm kemudian mempertegas bahwa manusia saat ini telah menjadi bagian dari mesin-mesin industri dan menjadi robot-robot yang sulit mengenal apalagi memiliki nilai-nilai kemanusiaan. Hidup di masa kini, harga manusia diletakkan pada nilai-nilai material. Pembangunan lebih berharga dari pada nilai-nilai kemanusiaan sehingga prestasi-prestasi pembangunan itu sendiri harus dicapai dengan mengorbankan dimensi kemanusiaan[12].

Anehnya, krisis kemanusiaan ini justru diciptakan oleh lembaga pendidikan. Sejarah dengan kemajuan dan perhitungan matematis pembangunan memunculkan kecenderungan perubahan orientasi dan paradigma pendidikan di Indonesia. Tema baru yang mulai dilontarkan oleh Wardiman Djojonegoro[13] adalah mengenai link and match dalam pengertiannya yang sempit dan terbatas. Tema ini dapat menjadi petunjuk berubahnya fungsi pendidikan ke arah industrialisasi manusia produktif dalam pengertian materialis dan ekonomi. Peserta didik dipacu dan dievaluasi menurut kategori dan kriteria untuk kepentingan pembangunan semata.

Pendidikan kemudian berubah menjadi industri sehingga problem pendidikan mulai dibatasi oleh pertanyaan mengenai apa keterkaitan dan kesesuaian (link and match) produk pendidikan dengan kebutuhan masyarakat. Akibatnya, peserta didik mulai kehilangan dimensi otonomnya sebagai manusia yang mempribadi. Peserta didik akan tumbuh menjadi pribadi yag serba objektif dan terlepas dari nilai-nilai ruhaniah, spiritualitas dan religiusitas. Hubungan guru murid (dosen mahasiswa) pada akhirnya akan menjadi hubungan industrial[14].

Semestinya, pendidikan harus dikembangkan sebagai pengayaan nilai-nilai spiritual dan religiusitas tanpa harus melupakan pengembangan kemampuan profesionalnya dalam menyelesaikan masalah. Orientasi lapangan kerja yang tersedia harus dikembangkan dengan penyediaan peluang pengembangan daya kreatif peserta didik di atas landasan idealisme kemanusiaan. Dengan demikian, produk pendidikan tidak akan terjebak hanya untuk penyiapan tenaga kerja siap pakai yang semata-mata cerdas, namun juga tenaga kerja yang memiliki moralitas yang bertanggung jawab[15].

Menurut Abdul Munir Mulkhan, pendidikan sering kali terjebak sebagai rekayasa politik dari pada aktifitas budaya sehingga fungsi teori kependidikan lebih merupakan kajian akademik dari pada sebagai basis utama pengembangan kebijakan pendidikan itu sendiri[16]. Dengan kata lain, pendidikan adalah tindakan politik, demikian Budhi Munawar Rachman mempertegas[17]. Maksudnya, ruang lingkup pendidikan termasuk di dalamnya kebijakan atas model pendidikan dan semacamnya sebenarnya tidak berada di ruang kosong. Ia berada di lingkaran pusaran aktifitas politis. Maka jangan heran bila tiap ganti menteri pendidikan sudah secara otomatis berganti pula kurikulumnya.

Padahal, pendidikan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa. Maka wajar bila kemudian kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari kemajuan pendidikannya[18]. Ini berarti bahwa pendidikan bisa menjadi parameter atau alat ukur kemajuan pembangunan di suatu negara.

Bahkan, menurut Mochtar Buchori, pendidikan pada umumnya tidak hanya dipandang sebagai faktor utama dalam pembangunan, tapi sebagai “kunci pembangunan”. Terhadap pandangan ini perlu ditambahkan bahwa kemampuan pendidikan untuk memotori dan menopang proses pembangunan sangat ditentukan oleh relevan-tidaknya program pendidikan yang dilaksanakan terhadap jenis pembangunan yang sedang diupayakan. Dalam hubungan ini masalah pokok yang kemudian timbul ialah masalah pengoptimalan hasil-hasil pendidikan. Apa yang dapat dan harus dilakukan untuk mendapatkan hasil-hasil yang optimum dari upaya-upaya pendidikan demi keberhasilan pembangunan[19].

Pandangan demikian mendapat kritik keras dari Umar Kayam. Menurutnya[20], pendekatan pengajaran dan pendidikan seyogyanya dititikberatkan pada pertumbuhan dan perkembangan manusia. Bukan sekedar pada penyiapan sumber daya manusia dengan pengertian yang ekonomi-materialistis-teknokratis. Disinilah upaya kita untuk kembali memahami ungkapan “manusia seutuhnya[21]”.

Manusia yang tidak hanya dibayangkan sebagai tubuh dengan segala tulang, otot syaraf, jeroan, otak berserta semua anggota tubuh yang secara organik dapat berfungsi melangsungkan hidupnya. Tapi lebih dari itu semua. Manusia yang mampu membuat jarak dengan dirinnya, yang mampu untuk selalu mengembangkan kemungkinan yang disodorkan kepada dirinya sendiri. Manusia yang mampu tumbuh lewat akal, fantasi, dan imajinasinya. Serta juga manusia yang selalu mungkin pasrah kepada kekuasaan sang pencipta.

Tapi sayang sekali. Pendidikan yang dianggap sebagai wahana penting untuk menjaga hakekat dari kemanusiaan ini justru menjadi mesin industri bagi kepentingan pasar. Pendidikan dalam banyak sisi justru melakukan proses peminggiran rasa kemanusiaan karena peserta didik diposisikan sebagai objek yang dikerahkan oleh perangkat pendidikan untuk dijadikan manusia-manusia yang siap pakai di dunia industri dan pasar global. Siap pakai yang dimaksud di sini tak ubahnya sebagai “mesin” yang sesuai dengan keinginan pasar dan industri. Lulusan lembaga pendidikan tak ubahnya robot-robot yang sudah tentu semakin jauh dari aspek kemanusiaannya. Inilah sebuah proses pembelajaran yang berorientasi pada pendidikan mekanistis-materialistis.

Apabila orientasi utama pendidikan adalah memenuhi kebutuhan pasar semata, lembaga pendidikan kemudian menjelma sebagai mesin industri yang siap memenuhi pesanan pasar. Anehnya, model pendidikan demikian yang sering dinilai sebagai pendidikan yang unggul dan bermutu. Lulusannya langsung dibutuhkan dan diserap oleh pasar yang sesungguhnya adalah kapitalisme global[22].

 

 

 

  1. Mengenal IDIA Prenduan
  2. Sejarah Singkat IDIA Prenduan

Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA) Prenduan merupakan salah satu lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Yayasan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Kampus ini berdiri pada 11 September 1983 dengan nama Pesantren Tinggi Ilmu Kemasyarakatan. Kemudian berubah menjadi Pesantren Tinggi Al-Amien (PTA) Prenduan. Beberapa tahun kemudian berubah lagi menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Al-Amien (STIDA) Prenduan. Status dan nama STIDA beralih menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Amien Prenduan. Pada tahun akademik 2001-2002 seiring dengan turunnya Surat Keputusan dari Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama RI. No. : Dj.II/144/2002, STAI Al-Amien Prenduan memiliki nama baru, yakni Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA) Prenduan dengan tiga fakultas dan enam program studi (prodi).

Tiga fakultas dan enam prodi yang dimaksud adalah Fakultas Dakwah dengan Prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI) dan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI). Fakultas Tarbiyah dengan Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Pendidikan Bahasa Arab (PBA). Adapun yang terakhir adalah Fakultas Ushuludin dengan Prodi Ilmu Aqidah dan Tafsir Hadist. Selain itu, IDIA Prenduan juga menyelenggarakan program pendidikan khusus untuk Madrasah Diniyah (madin).

Adapun mahasiswa IDIA Prenduan terdiri dari tiga macam, yaitu mahasiswa plus[23], mahasiswa reguler[24] dan mahasiswa intensif[25]. Pengkategorian mahasiswa ini bukan atas dasar kemampuan ekonomi, suku, ras, madzab, jenis kelamin atau status sosial. Tapi lebih disebabkan karena durasi, kuantitas dan intensitas materi pendidikan yang diterima. Setiap calon mahasiswa diberi kesempatan yang sama untuk memilih “jenis mahasiswa” apa yang akan diambil selama kuliah di IDIA Prenduan.

 

  1. Potret Mahasiswa Program Intensif IDIA Prenduan

Ada yang bilang bahwa hidup di abad 21, untuk tidak terpinggirkan dan bisa bertahan hidup serta maju, orang harus memiliki keahlian[26]. Pernyataan ini benar-benar telah menjadi “pedoman” bagi dunia pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi begitu serius menyiapkan mahasiswanya dengan beragam bekal keahlian sebagai modal hidup pasca kuliah. Keseriusan dari kampus-kampus ini bisa dilihat dari tebaran mata kuliahnya yang senantiasa disesuaikan dengan perkembangan jaman[27]. Tidak hanya itu, negara juga ikut campur tangan dengan mengeluarkan peraturan yang menuntut standart kompetensi minimal yang berlaku secara nasional[28].

Dalam konteks pendidikan di IDIA Prenduan, pada suatu kesempatan (OSPEK mahasiswa IDIA Prenduan) Alm. KH. M. Idris Djauhari[29] pernah menyatakan bahwa mereka yang sedang kuliah di IDIA Prenduan menyandang status ganda, yakni sebagai santri dan mahasiswa. Tapi, status santri harus diutamakan dari status mahasiswa.

Secara implisit, pernyataan Alm. KH. Muhammad Idris Djauhari ingin menekankan bahwa proses pendidikan yang ada di IDIA Prenduan mengkombinasikan dua model pendidikan, yakni pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah formal. Maka tidak heran bila kemudian banyak dijumpai aspek-aspek pendidikan kepesantrenan yang “dikawinkan” dengan unsur-unsur pendidikan sekolah formal khususnya untuk mahasiswa program intensif.

Bila ditinjau dari sudut pandang tata Bahasa Arab, pendidikan berasal dari kata tarbiyah yang berakar pada kata rabba-yurobbi, artinya mendidik. Kata rabba-yurobbi pada dasarnya lahir dari “pohon kata” robbun[30]. Robbun dalam konteks teologis berarti Tuhan. Ini berarti bahwa dalam Islam, tarbiyah merupakan salah satu konstruksi yang muncul dari filosofi dan pemahaman Allah sebagai robbun. Dengan kata lain bahwa Allah adalah pendidik yang sejati. Bila akar kata tarbiyah adalah robbun maka proses pendidikan (tarbiyah), apapun jurusannya, target akhirnya yang ingin dicapai adalah terciptanya lulusan yang bisa “kenal” dengan Tuhannya, demikian menurut Cak Nun[31].

Maka mereka yang kuliah di jurusan biologi misalnya, ketika mendapat tugas untuk meneliti daun, puncak pencapaian akademisnya adalah ketika dia mampu “mengenal” Allah dalam kebesaran penciptaanNya yang bernama daun. Apapun jurusan yang dipilih, mahasiswa harus bisa “menemukan” Allah. Benih-benih metodologis-filosofis-teologis perjumpaan hamba (mahasiswa) dengan Tuhannya selama menempuh perkuliahan harus menjadi mainstream proses pendidikan di perguruan tinggi. Sehingga apapun pekerjaannya setelah kuliah nanti, kesadaran bertuhan menjadi pondasi profesinya. Dengan kata lain, apapun profesinya, selalu menempatkan Allah sebagai titik berangkat dan titik tuju.

Bila target “Mengenal Tuhan” adalah tujuannya maka secara otomatis harus “Mengenal Diri Sendiri” dulu. Pengetahuan akan Diri dan Tuhan, menurut Ibnu  Arabi tak lain adalah salah satu bagian dari kesempurnaan insan kamil dari segi pengetahuannya[32]. Mengenal Diri dan mengenal Tuhan di kalangan pesantren lebih populer dengan istilah man arofa nafsahu, faqod arofa robbahu.

Untuk bisa tahu dirinya sehingga kemudian tahu Tuhannya maka proses pendidikan harus mengikutsertakan proses ijtihad (berilmu luas) dan mujahadah (beriman sempurna) terus menerus tanpa henti. Ijtihad itu kerja otak yang identik dengan simbol keilmuan. Mujahadah adalah kerja hati yang dilambangkan sebagai tempat persemaian benih-benih keimanan. Olah hati dan olah pikir yang berlangsung terus menerus tidaklah berada di ruang kosong. “Perkawinan” ijtihad dan mujahadah harus diterjemahkan dalam bentuk perbuatan nyata. Dan aplikasi kongkrit dari penerapan keduanya inilah yang bernama jihad (beramal sejati). Jihad adalah kerja fisik yang dilabeli dengan istilah amal sholeh. Ketiganya adalah rangkaian yang saling bekerja sama satu dengan yang lain untuk melahirkan pengetahuan luas-iman sempurna-amal sejati yang bermuara pada man arofa nafsahu faqod arofa robbahu[33].

Untuk mencapai tujuan ideal dari proses pendidikan tersebut maka IDIA Prenduan kemudian mencoba melakukan ikhtiar akademis dengan menghadirkan program unggulan bernama Program Pendidikan Mahasiswa Intensif. Ini bukan berarti mahasiswa intensif lebih unggul, lebih baik atau lebih pintar dari mahasiswa plus dan reguler. Kata unggul lebih disebabkan karena proses pendidikan yang ditempuh mahasiswa intensif lebih berat ketimbang mahasiswa reguler dan plus. Yakni dua puluh empat jam kali dua belas bulan kali lima tahun. Inilah the real full day education.

Dalam konteks pendidikan di IDIA Prenduan, konsep berilmu luas (ijtihad), beriman sempurna (mujahadah) dan beramal sejati (jihad) menjadi landasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan pembinaan karakter unggul seperti yang tercantum dalam visi IDIA Prenduan. Ini berarti bahwa seluruh rangkaian proses pendidikan harus mengarah pada visi yang dimaksud.

Kendatipun tujuan pendidikan lebih bersifat ruhaniah, bukan berarti mahasiswa program intensif tidak dibekali dengan beragam keterampilan profesional yang berkorelasi erat dengan bidang ilmu yag digeluti. Tapi sekali lagi, titik tekannya bukan pada alumni IDIA Prenduan –semua program dan intensif khususnya- bisa kerja apa dan dimana setelah lulus. Yang diutamakan adalah proses selama belajar formal di IDIA, mahasiswa dapat menumbuhkan sendiri benih-benih pengetahuan transendental yang membuat mereka lebih kenal dengan dirinya dan Tuhannya. Urusan pekerjaan menjadi sekunder. Kenapa? Karena kalau mahasiswa benar-benar kuliah sesuai dengan standart kurikulum yang berlaku di IDIA, kemudian selama kuliah juga aktif melatih berbagai keterampilan hidup, memperluas pengetahuan, membangun kepribadian yang amanah dengan ditopang pondasi spiritual yang kokoh, maka siapa sih yang tidak tertarik dengan lulusan macam ini?[34] Jadi yang primer adalah man arofa nafsahu, faqod arofa rabbahu, sedangkan keterampilan profesioal –yang tak lain karena adanya tuntutan pasar dunia kerja- adalah sekunder.

Adapun seluruh program-program pendidikan untuk mahasiswa intensif dirancang sedetail mungkin (jam, hari, bulan, semester dan tahun) selama lima tahun lamanya. Pada tahun pertama (semester 1-2) mereka akan difokuskan untuk mempelajari “kunci-kunci ilmu” (istilah ini dipopulerkan oleh Alm. KH. M. Idris Djauhari). Kemudian pada tahun kedua (semester 3-4), mahasiswa intensif mulai dilatih untuk belajar menumbuhkan jiwa kepemimpinan dalam dirinya dengan bentuk mengelola Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) seperti teater, pecinta alam dan semacamnya.

Pada tahun ketiga (semester 5-6), mahasiswa intensif dituntut tidak hanya peduli pada dirinya sendiri (pengembangan diri di ruang kuliah) tapi juga “dipaksa” untuk peduli dan bertanggung jawab pada keadaan di sekitarnya. Metode pendidikan macam ini diaplikasikan dalam bentuk kewajiban menjadi pengurus Badan Ekskutif Mahasiswa (BEM) IDIA Prenduan. Sedangkan pada tahun ke empat (semester 7-8), mahasiswa program intensif lebih dikenal sebagai mahasiswa niha’ie. Pada dua semester ini, mereka sudah tidak lagi memiliki jabatan struktural kepengurusan karena sedang difokuskan untuk mengikuti rangkaian program pendidikan yang sangat berat. Mulai dari khutbah jum’at, amaliyah tadris, oto identifikasi, P2M, skripsi, dan lain-lain. Adapun puncak proses pendidikan bagi mahasiswa intensif adalah justru ketika mereka sudah tidak menjadi mahasiswa. Yakni ketika mereka sudah diwisuda dan melaksanakan program pengabdian (mengajar) selama satu tahun.

  1. Penutup

Memaparkan realitas empiris dari dunia pendidikan di tanah air kemudian memunculkan secercah harapan melalui konsep pendidikan di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan (yang dimaksud dalam makalah ini adalah IDIA Prenduan) bukan berarti ingin menunjukkan bahwa silang sengkarut persoalan pendidikan nasional bisa diselesaikan hanya dengan mengacu pada model pendidikan yang diterapkan untuk program mahasiswa intensif.

Pola proses pendidikan untuk program mahasiswa intensif IDIA Prenduan hanyalah sekedar ikhtiar akademis yang tak lain adalah bagian dari upaya nyata untuk tidak ikut “arus umum” dari model pendidikan di negeri ini. Meskipun demikian, tanpa mengesampingkan cita-cita idealis tersebut, IDIA Prenduan tetap membekali mahasiswanya (intensif-plus-reguler) dengan segenap pengetahuan teoritis dan keterampilan praktis sebagai bekal memasuki dunia yang semakin hari kian semakin mengglobal dan menuntut persyaratan profesionalitas profesi yang tinggi. Hal ini bisa dilihat dari standar proses pendidikan yang berlangsung seluruhnya mengacu pada standart Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Ali, Yunasril. 1997. Manusia Citra Ilahi. Jakarta: Paramadina

Anshori, Dadang S. dkk. 2000. Menggagas Pendidikan Rakyat; Otosentrisitas Pendidikan Dalam Wacana Politik Pembangunan. Bandung: Alqaprint Jatinagor

Azzet, Akhmad Muhaimin. 2011. Pendidikan Yang Membebaskan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media

Buchori, Mochtar. 1994. Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana Indonesia

Faesol, Achmad. 2016. Aurat Sosial. Yogyakarta: Ladang Kata

Karim, Syeikh Abdul dan Ibnu Ibrahim Al Jaili. 2005. Insan Kamil; Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia dengan Sangk Khaliq hingga Akhir Jaman (terjemahan). Surabaya: Pustaka Himkah Perdana

Kuntowijoyo. 2005. Islam Sebagai Ilmu, Epistimologi, Metodologi, dan Etika. Bandung: Teraju Mizan

Maksum, Ali dan Yunan Ruhendi, Luluk. 2004. Paradigma Pendidikan Universal di era Modern dan Post Modern. Yogyakarta: IRCiSoD

Malik, Nazaruddin. Strategi Manajemen Sumber Daya Manusia Berorientasi Investasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing. Salam; Jurnal Ilmu-ilmu Sosial. Volume 13 Nomor 2 Juli-Desember 2010

Pekerti, Anugerah dkk. 1998. Pembelajaran Memasuki Era Kesejagatan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Syahputra, Iswandi. 2007. Komunikasi Profetik; Konsep dan Pendekatan. Bandung: Simbiosa Rekatama Media

[1] Dosen Sekaligus Ketua Program Studi Bimbingan Penyuluhan Islam

  1. Syeikh Abdul Karim dan Ibnu Ibrahim Al Jaili. 2005. Insan Kamil; Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia dengan Sangk Khaliq hingga Akhir Jaman (terjemahan). Surabaya: Pustaka Himkah Perdana. Hal. 315

[3] Yunasril Ali. 1997. Manusia Citra Ilahi. Jakarta: Paramadina. Hal. 23

[4] Ibid. 60

[5] Artinya, siapa yang tahu dirinya akan tahu Tuhannya. Kalimat ini merupakan pernyataan seorang sufi Yahya bin Mu’adz Al-Rrazi

[6] Sandaran filosofis ideologis yang dimaksud akan dijelaskan di point Mengenal IDIA Prenduan dengan subpoint Potret Mahasiswa Program Intensif IDIA Prenduan

[7] Nazaruddin Malik. Strategi Manajemen Sumber Daya Manusia Berorientasi Investasi Menuju Bangsa yang Berdaya Saing. Salam; Jurnal Ilmu-ilmu Sosial. Volume 13 Nomor 2 Juli-Desember 2010. Hal. 153-161.

[8] Dadang S. Anshori, dkk. 2000. Menggagas Pendidikan Rakyat; Otosentrisitas Pendidikan Dalam Wacana Politik Pembangunan. Bandung: Alqaprint Jatinagor. Hal. 50

[9] Ibid. 37

[10] Iswandi Syahputra. 2007. Komunikasi Profetik; Konsep dan Pendekatan. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Hal. 132

[11] Kuntowijoyo. 2005. Islam Sebagai Ilmu, Epistimologi, Metodologi, dan Etika. Bandung: Teraju Mizan. Hal. 85

[12] Dadang S. Anshori, dkk. 2000. Menggagas Pendidikan Rakyat; Otosentrisitas Pendidikan Dalam Wacana Politik Pembangunan. Bandung: Alqaprint Jatinagor. Hal. 60-61

[13]  Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia periode 1993-1998

[14] Dadang S. Anshori, dkk. 2000. Menggagas Pendidikan Rakyat; Otosentrisitas Pendidikan Dalam Wacana Politik Pembangunan. Bandung: Alqaprint Jatinagor. Hal. 55-56

[15] Ibid. 57

[16] Ibid. 58

[17] Ibid. 151

[18] Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi. 2004. Paradigma Pendidikan Universal di era Modern dan Post Modern. Yogyakarta: IRCiSoD. Hal. 227

[19]  Mochtar Buchori. 1994. Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana Indonesia. Hal. 62

[20]  Dadang S. Anshori, dkk. 2000. Menggagas Pendidikan Rakyat; Otosentrisitas Pendidikan Dalam Wacana Politik Pembangunan. Bandung: Alqaprint Jatinagor. Hal. 188-189

[21]  Istilah “manusia seutuhnya” pada dasarnya merupakan amanat Undang-undang Dasar 1945 yang secara tegas merupakan visi pendidikan nasional Indonesia. Silahkan lihat Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi. 2004. Paradigma Pendidikan Universal di era Modern dan Post Modern. Yogyakarta: IRCiSoD. Hal. 232

[22]  Akhmad Muhaimin Azzet. 2011. Pendidikan Yang Membebaskan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Hal. 54-56

[23]  Mahasiswa plus merupakkan lulusan Tarbiyatul Mu’allimin Islamiyah atau yang lebih dikenal dengan istilah TMI. TMI merupakan salah satu lembaga pendidikan setingkat SMA yang berada di bawah naungan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Setelah menyelesaikan pendidikan di TMI, para santri memiliki kewajiban untuk melaksanakan pengabdian wajib selama satu tahun dalam bentuk mengajar. Baik di lembaga-lembaga pendidikan yang di Madura maupun luar Madura. Mereka yang mengajar di TMI atau di lembaga pendidikan yang ada di ruang lingkup Yayasan Pondok Pesantren Al-Amien, akan kuliah di IDIA Prenduan. Jadi, selain mereka menunaikan kewajiban sebagai seorang guru pengabdian, mereka juga berperan sebagai mahasiswa. IDIA Prenduan menyebut mahasiswa seperti ini sebagai mahasiswa plus.

[24]  Mahasiswa reguler merupakan mereka yang hanya kuliah dan menetap di tempat masing-masing. Mahasiswa jenis ini merupakan mereka yang lulus dari sekolah setingkat SMA kemudian memilih IDIA sebagai tempat kuliah. Pada umumnya, mahasiswa reguler memiliki kesibukan sebagai pengajar di lembaga-lembaga pendidikan di kawasan Sumenep.

[25]  Mahasiswa intensif merupakan lulusan SMA atau sederajat yang tidak hanya kuliah di IDIA Prenduan tapi juga menetap dan tinggal di asrama yang telah disediakan. Mahasiswa intensif, selain kuliah, juga mengikuti seluruh program pendidikan yang telah ditetapkan oleh IDIA Prenduan. Seperti sholat wajib berjamaah, tadarus al-aqur’an, mengaji kitab kuning, olah raga dan semacamnya. Selain mendapatkan dan mengikuti materi perkuliahan berdasarkan jurusan masing-masing, seluruh mahasiswa program intensif diwajibkan untuk mengikuti mata kuliah kepondokan. Keduanya (kepondokan dan kuliah) harus ditempuh selama delapan semester dan pada setiap semester memiliki ujian masing-masing yang akan menentukan kelulusannya. Setelah dinyatakan lulus baik untuk program pendidikan perkuliahan maupun kepondokan, mahasiswa program intensif memiliki kewajiban untuk mengajar (program pengabdian), baik di IDIA Prenduan (materi kepondokan) maupun di lembaga-lembaga yang memiliki hubungan dengan Yayasan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Kewajiban mengajar selama satu tahun ini masih dalam kerangka proses pendidikan bukan pengembangan profesi sebagai pendidik. Selama satu tahun ini, para lulusan tidak hanya memiliki kewajiban sekedar mengajar saja, tapi mereka juga memiliki tugas-tugas lain yang berlangsung selama dua puluh empat jam penuh sesuai dengan posisi struktural yang ditempati. Jadi, pada satu sisi ada kewajiban untuk mengajar, dan di saat bersamaan harus menjalankan peran sesuai dengan posisinya plus sekali-sekali menjadi panitia penyelenggara atau penanggung jawab dari acara-acara kepondokan. Meskipun tugas, peran dan tanggung jawabnya begitu banyak, jangan pernah berpikir tenaga pengabdian ini akan diberi gaji. Dalam sistem pendidikan di Pondok Pesantren Al-Amien pada umumnya dan IDIA Prenduan khususnya, alumni mahasiswa program intensif tidak diberi upah dalam bentuk uang selama menjalankan tugas pengabdian. Mereka hanya cukup diberi makan gratis tiga kali sehari dan perlengkapan mandi sekedarnya. Inilah puncak dari proses pendidikan untuk mahasiswa program intensif. Selama satu tahun ini, mereka harus memaksimalkan proses ijtihad dalam menjalankan tugas, harus memperkokoh proses mujahadah dan tentunya juga harus memaksimalkan proses jihadnya. Pada satu tahun terakhir inilah pendidikan untuk beramal sejati benar-benar diprogramkan. Dikatakan begitu karena sudah tidak ada gaji tapi masih diwajibkan untuk mengajar dan bekerja keras mengerjakan tugas-tugas struktural lainnya. Dan untuk kepentingan ini, mereka juga harus bersiap-siap untuk dibimbing (ditegur dan dimarahi). Inilah praktek amal sejati yang sebenarnya. Kerja keras siang malam tapi tidak digaji dan kalau salah harus siap dimarahi.

[26]  Anugerah Pekerti, dkk. 1998. Pembelajaran Memasuki Era Kesejagatan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hal. 97

[27]  Lebih tepatnya adalah disesuaikan dengan jenis profesi apa yang sedang dibutuhkan oleh jaman. Jenis mata kuliah dan proses pembelajaran ditargetkan memiliki garis link and match dengan kebutuhan pasar kerja. Artinya, mata kuliah yang tidak ada hubungan langsung dengan dunia kerja atau mata kuliah yang tidak dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan industri tidak akan dipelajari serius. Kalaupun terpaksa dimuat dalam kurikulum, itu lebih disebabkan karena faktor keterpaksaan. Karena faktor peraturan menteri misalnya.

[28]  Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 49 tahun 2014 Bagian Kedua yang memuat Standart Kompetensi Lulusan. Dijelaskan bahwa standart kompetensi lulusan merupakan kriteria minimal tentang kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan lulusan yang dinyatakan dalam rumusan capaian pembelajaran.

[29]  KH. Muhammad Idris Djauhari merupakan putra dari KH. Achmad Djauhari Chotib, pendiri Pondok Pesantren Al-Amien. KH. Muhammad Idris Djauhari wafat pada hari Kamis, 28 Juni 2012 di usia 60 tahun

[30]  Robbun berarti Tuhan. Dalam Islam, Allah tidak hanya menampilkan dirinya sebagai robbun tapi adakalanya pada konteks yang lain sebagai ilaahun. Contoh detailnya silahkan lihat di surat An-Nas. Surat ke 114 yang terdiri dari enam ayat dan diturunkan di Madinah

[31]  Cak Nun adalah nama populer dari Muhammad Ainun Nadjib. Pernyataan tentang konsep pendidikan ini disampaikan pada sebuah acara rutinnya bersama Alisa Wahid (putri sulung Gus Dur/KH. Abdurrahman Wahid)

[32]  Yunasril Ali. 1997. Manusia Citra Ilahi. Jakarta: Paramadina. Hal. 60

[33]  Inilah yang melatari penulis memaknai insan kamil sebagai man arofa nafsahu faqod arofa robbahu dalam konteks pendidikan. Berkaca pada arus umum terkait orientasi pendidikan yang lebih pada menghasilkan lulusan siap kerja maka pengetahuan filosofis teologis ini terasa asing karena nampak “melawan arus”. Hemat penulis, semestinya (berdasarkan penelitian terhadap model pendidikan untuk mahasiswa intensif IDIA Prenduan), keterampilan kerja tidaklah harus menjadi target utama dari proses panjang pendidikan. Kalau proses perkuliahan benar-benar berjalan sebagaimana yang tercantum dalam kurikulum, maka tanpa dijadikan targetpun, lulusannya akan memiliki keahlian dan kompetensi seperti yang direncanakan. Karena itu, seharusnya titik fokus pendidikan harus tertuju pada man arofa nafsahu faqod arofa robbahu. Selebihnya akan berjalan secara otomatis. Termasuk keahlian para lulusan. Sama seperti orang makan. Kenyang tidak perlu dijadikan sebagai target ketika hendak makan. Meskipun tidak ditargetkan, kalau cara makannya benar maka kenyang sudah pasti diperoleh. Pendek kata, tujuan pendidikan semestinya lebih bersifat ruhaniah (software) ketimbang jasmaniah (hardware).

[34] Achmad Faesol. 2016. Aurat Sosial. Yogyakarta: Ladang Kata. Hal. 71-72