Oleh: Dr. KH. Muhtadi Abdul Mun’im, MA

Dalam dunia politik kekuasaan, jabatan di level-level atas menjadi incaran banyak pihak. Dengan menjadikan jabatan sebagai tujuan politik kekuasaan, banyak orang saling bersaing dan berlomba-lomba (bahkan dengan berbagai macam cara) untuk mendapatkannya. Dengan jabatan tertentu, seseorang memiliki akses kekuasaan untuk mendapatkan manfaat, menjalankan kemauannya, mengontrol, mengawasi, dan menguasai bagian-bagian yang berada di bawah koordinasinya. Oleh karena itu, bagi sebagian orang, jabatan menjadi satu hal yang didam-idamkan.

Perolehan jabatan pada level tertentu dijadikan satu tanda pencapaian prestasi diri atas usaha yang telah dilakukan sebelumnya. Sehingga tidak heran, jika seseorang yang mendapatkan satu jabatan tertentu, terutama di level atas, banyak diapresiasi oleh banyak pihak. Berbagai ucapan selamat akan datang silih berganti sebagai bagian dari doa, apresiasi, serta harapan disematkan pada orang yang mendapatkan posisi tersebut. Dengan perspektif ini, jabatan dianggap sebagai suatu nikmat, penghargaan, dan suatu kehormatan yang menaikkan status prestisius di mata banyak orang.

Sebagian kecil lain, ada orang yang menganggap bahwa jabatan itu musibah. Atau, paling minim setingkat dengan fitnah, dibandingkan dengan nikmat. Memang agak sulit diikuti dengan nalar, mengapa bisa jabatan itu diasosiasikan dengan musibah. Kecuali, jika kita melihat betapa berita-berita kekinian mengungkapkan berbagai kasus korupsi yang menjerat para pejabat pemerintahan sehingga mereka berakhir di balik jeruji besi. Nalar sederhana yang muncul kemudian adalah jabatan berpotensi korupsi, lalu terjerat hukum, dan dijatuhi hukuman akibat korupsinya itu. Jadi, dengan nalar tersebut, bukan jabatan yang mengakibatkannya mendapatkan musibah, tapi karena korupsinya. Bukan sesederhana itu melihat jabatan sebagai musibah.

Orang yang menganggap jabatan itu musibah lebih terkait dengan besarnya tanggung jawab yang melekat pada jabatan tersebut. Setiap jabatan butuh pertanggung jawaban. Semakin ke atas levelnya, semakin besar tanggung jawab yang melekat padanya. Pertanggung-jawaban atas jabatan tersebut bukan sekedar pada stake holder atau pada orang yang berada pada level jabatan di atasnya. Tapi, pertanggung jawaban dari jabatan itu juga akan dihadapi di akhirat nanti. Ini yang paling berat. Bayangkan, berapa orang yang berada di bawah koordinasinya yang akan dibebankan kepadanya. Semakin tinggi jabatan tersebut, semakin banyak orang yang akan menjadi bagian dari pertanggung-jawabannya di dunia dan akhirat. Membayangkan ini saja rasanya tidak sanggup. Mungkin inilah mengapa Al-Quran dalam surat Al-Ahzab ayat ke72 menganggap manusia sebagai makhluk yang dhalim dan bodoh karena berani memikul amanah. Artinya, jika manusia betul-betul memikirkan betapa besar tanggung jawab yang dipikul karena suatu jabatan (atau amanah) yang akan diminta di dunia dan di akhirat, mestinya, dia akan menolaknya. Sebagaimana langit, bumi dan gunung menolak mengemban amanat sebesar itu.

Perspektif inilah yang mungkin membuat risau para khulafaur rasyidin  ketika beliau diberi kesempatan untuk menjabat sebagai khalifah. “Saya bukannya senang dengan jabatan ini, saya justru merasa diberi beban yang amat berat yang mungkin tidak sanggup dipikul kecuali dengan adanya pertolongan Allah,” ujar Abu Bakar saat beliau memberikan sambutan di hadapan kaum Muslimin sebagai khalifah. Beberapa sahabat lain ada yang menolak jabatan dan meletakkan jabatannya karena fitnah dunia yang membuatnya semakin resah, sebagaimana yang dialami oleh Miqdad bin Amr. Rasulullah juga pernah menolak memberikan jabatan pada sahabat yang sholeh dan zuhud, Abu Dzar Al-Ghifari, karena khawatir akan fitnah dunia dari jabatan itu bisa menjadi musibah bagi sahabat tersebut. Rasulullah saw memberikan penjelasan padanya:

“Sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah, dan sesungguhnya jabatan itu amanah. Sesungguhnya jabatan akan menjadi kehinaan dan penyesalan bagi orang yang menerimanya, kecuali ia mendapatkannya dengan cara yang benar dan menunaikan amanah jabatan tersebut juga dengan benar.”

Dalam rangka menghadapi fitnah dan potensi musibah yang ada dalam setiap jabatan, maka sebaiknya kita menerapkan apa yang telah diajarkan Al-Quran untuk senantiasa bersabar. Di antara ciri dari kesabaran itu adalah selalu merasa bahwa sesungguhnya kita ini adalah milik Allah, dan sungguh bahwa hanya kepadaNya lah kita kembali (Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un). Sebagai manusia, kita teramat lemah, dan memiliki potensi besar untuk berbuat dhalim dan naif. Hanya dengan pertolongan Allah kita diberi kemampuan untuk mengemban amanah (jabatan). Oleh karena itu, hendaklah kita sering-sering berdoa dan meminta doa, serta membuka diri untuk diingatkan agar selamat dari kedhaliman dan kebodohan yang bisa berakibat pada musibah yang lebih besar. Wallahu A’lam.