Pemikiran Islam Kontemporer adalah pemikiran Islam yang berkembang pada masa modern (Abad ke-19) hingga saat ini. Ciri dari Islam Kontemporer yaitu berkembangnya pemikiran baru dalam menafsirkan Al-Qur’an dan peradaban Islam. Lantas, bagaimana Islam Kontemporer memandang perempuan yang menjadi pemimpin suatu golongan? Berikut obrolan redaksi Komunika Rohmadi Alfarisi dengan salah satu dosen IDIA Prenduan, pengampu materi Dunia Islam Kontemporer, Kamis (30/01/20).
Apa yang dimaksud dengan Islam Kontemporer?
Islam kontemporer terdiri dari dua istilah yang berbeda. Islam adalah risalah yang memuat akumulasi anturan, nilai, moral yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad melalui Jibril As, sebagai rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ‘Alamin). Sedangkan kontemporer merupakan sebuah era atau fase yang dimulai sejak abad ke-19 hingga sekarang. Dalam pemahaman yang sederhana, kontemporer adalah kekinian, aktual dan segala hal yang berkaitan dengan masa sekarang. Dari definisi istilah di atas, maka yang dimaksud dengan Islam kontemporer adalah dialektika Islam sebagai sebuah agama yang memuat aturan dan tata nilai dengan era kekinian.
Bagaimana kita memaknai Islam Kontemporer itu sendiri?
Sebenarnya tidak ada problem terkait dengan istilah Islam kontemporer karena pada hakikatnya, Islam adalah agama yang selalu relevan dengan perkembangan zaman (Shahih li Kulli az-Zaman wa al-Makan). Namun, akar problemnya adalah bagaimana wacana keislaman kontemporer merespon isu-isu yang berkembang dalam bentangan era tersebut. Salah satu isu yang menjadi kegelisahan akademik dan para pemikir muslim kontemporer adalah potret kemunduran Islam di era kontemporer, (لماذا تأخرالمسلمون وتقدم غیرھم).
Isu ini mematik perdebatan hangat di kalangan para pemikir muslim sehingga membentuk ruang wacana yang beragam.
Seperti yang antum katakan, bahwa Islam Kontemporer juga disebut sebagai Islam kekinian atau era sekarang. Lalu bagaimana dengan perempuan (muslimah) yang menjadi pemimpin?
Persoalan kedudukan pemimipin perempuan merupakan salah satu wacana pemikiran Islam kontemporer. Wacana ini muncul seiring dengan perubahan struktur sosial masyarakat kontemporer dalam melihat status perempuan. Di Barat misalnya, terdapat pemikir yang terafiliasi dalam komunitas pegiat Gander, mereka menuntut sistem patriarki yang mengakar kuat dalam sistem sosial. Mereka menggugat superioritas kaum laki-laki dan menuntuk hak perempuan agar tidak didudukkan sebagai pihak yang inferior. Mereka menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan termasuk dalam urusan hak pastisipasi politik. Jika melihat struktur sosial masyarakat kontemporer memang terjadi perubahan yang sangat jauh dengan struktur sosial masyarakat pada zaman peradaban Islam klasik. Namun pertanyaannya adalah bagaimana wacana keislaman merespon arus perubahan tersebut? Di dalam dunia Islam sendiri, jika merujuk pada teks agama sebagai sumber otoritatif. Maka ketika Islam berbicara tentang kepemimpinan sebenarnya yang menjadi prinsip utama adalah soal keadilan sosial. Artinya, syarat utama dalam kepemimpinan bukan soal jenis kelamin (gander) akan tetapi soal kapasitas dan integritas dalam menciptakan keadilan sosial. Jika merujuka kepada sejarah Islam klasik, kita akan dapatkan beberapa kaum perempuan sebagai perawi hadis, misalnya Aisyah, ada juga seorang sufi terkenal dengan konsep mahabbahnya yaitu Rabi’ah al-Adawiyah. Peradaban klasik sebenarnya sudah memberikan dasar pijakan kepada kita bahwa perempuan boleh menjadi apa saja asal memiliki kualitas, integritas dan kapasitas di hidangnya masing-masing. Memang terjadi perdebatan antara pemikir muslim terkait persoalan kedudukan pemimpin perempuan, namun hal itu dalam hemat saya persoalan khilafiah bukan persoalan yang prinsip di dalam hal kepemimpinan.
Apakah hal tersebut tidak termasuk menyalahi ayat Arrijalu Qowwamuna ‘Alan Nisa’?
Memang ayat tersebut seringkali dijadikan dasar teologis di dalam memahami kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek. Namun, jika dikaji secara holistik, sebenarnya ayat tersebut tidak berbicara dalam konteks kepemimpinan, namun berbicara dalam konteks kedudukan antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri. Istilah قوامون para mufasir tidak dalam satu pendapat, ada yang mengartikan pemimpin, pengayom, pendidik dan lain-lain. Wallahu a’lam bisshowab.
Oleh: Ikhwan Amaly, M.Fil.I
“sumber: https://kpiidiaprenduan.blogspot.com/2020/02/pemimpin-perempuan-bolehkah-ust-ikhwan.html”